Senin, 11 Januari 2010

Papua Menatap Indonesia.

Judul :Dari Papua Meneropong Indonesia
Penulis : Ans Gregory da Iry
Penerbit : Grasindho
Tebal : 189 halaman
Tahun terbit : 2009

Selama ini, kita, Indonesia, melihat daerah-daerah dalam bingkai sentralistik. Daerah-daerah dipandang dan diperlakukan dalam format yang sama, meski ratusan tahun silam kita sudah kenal istilah bhinneka tunggal ika (bercerai-berai tetap satu). Akibatnya, aneka ragam aspek sosiokultural yang dimiliki daerah-daerah tidak connect (terkait) benar dengan pandangan sentralistik yang ada maupun perencanaan pembangunan yang ditawarkan. Pembangunan Indonesia selalu dikemas dalam sebuah grand design (rencana besar) yang sebenarnya tidak tepat untuk daerah-daerah tertentu. Tidak semua daerah dapat mengadopsi design yang ditawarkan pusat. Di sinilah letak permasalahannya.
‘’Dari Papua Menerepong Indonesia’’, judul buku Ans Gregory da Iry ini, mencoba membalik pandangan yang sudah sangat kronis itu. Membalik pandangan tentang Indonesia yang selama ini selalu disorot dan diteropong dari pusat. Sebenarnya judul ini menawarkan ironi kepada kita. Bagaimana Indonesia memahami Papua dan daerah-daerah dalam konteks dan format keindonesiaan yang utuh berdasarkan karakteristik dan keberagaman masing-masing daerah. Bukan melihat daerah-daerah di Indonesia dalam keseragaman pandangan orang-orang pusat.
Dua puluh enam tulisan yang terangkum di dalam buku ini merupakan percikan pemikiran Ans yang pernah dimuat di berbagai media, antara lain; Timika Pos, Radar Timika,dan Mingguan DIAN, dalam rentang waktu antara tahun 2000-2006. Naskah-naskah ini kemudian diklasifikasi menjadi empat bab yakni,I. Politik, Keamanan, Perdamaian, dan Hak Asasi Manusia, II. Hukum, Keadilan, dan Adat Istiadat. III. Perempuan, Persamaan Gender, dan Perceraian, dan IV. Sosial dan Pendidikan.
Berbicara masalah politik, keamanan, perdamaian, dan hak asasi manusia, Papua dapat menjadi laboratorium hidup untuk menguji hipotesis mengenai aspek-aspek ini. Soal politik kita sama-sama maklum, tidak pernah berujung, dengan keinginan sebagian kecil masyarakat adat Papua yang hendak merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peringatan Hari OPM pada setiap bulan Desember selalu diikuti oleh keprihatinan, saat bendera Bintang Kejora dikibarkan. Penyerangan terhadap karyawan Freeport dalam perjalanan antara Tembagapura dan Mimika, selalu dikait-kaitkan dengan kelompok Oerganisasi Papua Merdeka (OPM) yang dipimpin Kelly Kwalik (meninggal Desember 2009) selalu mengindikasikan gangguan keamanan yang tak pernah berakhir di ujung timur Indonesia itu.
Persoalan hak asasi manusia di Papua, pun termasuk aspek yang saling berhubungan dengan masalah politik, keamanan,dan perdamaian. Ada adagium yang hidup di Papua saat ini, mereka menjadi kelompok masyarakat kelas kedua di tanahnya sendiri. Jika mereka berjualan, maka akan ditemukan di emper-emper toko, sementara para pendatang menempati lods-lods toko dan mall. Ini pemandangan yang miris di Tanah Papua. Padahal, dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia rumusan PBB yang terdiri atas 30 pasal itu, pada pasal 3 berbunyi setiap orang mempunyai hak untuk hidup, kemerdekaan, dan keamanan dirinya. Apakah orang Papua sudah memiliki ini?
Persoalan hukum, keadilan sama, dan adat istiadat pun sama problematiknya. Menerapkan hukum saat ini, sama susahnya dengan tidak menerapkan hukum. Bagaikan buah simalakamma. Seorang warga Papua yang ditahan polisi karena melakukan tindakan kriminal, akan menimbulkan masalah hukum baru ketika sejumlah kerabatnya datang berunjukrasa ke kantor polisi dan melakukan pengrusakan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Papua, tetapi di seluruh Indonesia pasca reformasi ini.
Inilah yang membuat Indonesia belum benar-benar menjadi negara hukum, ditambah lagi dengan jual-belI hukum di tingkat atas/pusat yang kian marak akhir-akhir ini. Menurut Prof.Dr.Achmad Ali, S.H., M.H., Indonesia baru menuju menjadi negara hukum.
Papua memiliki hukum adat yang dijaga ketat. Aspek ini merupakan kearifan lokal yang perlu menjadi bahan pemikiran kita semua dalam menempatkan Papua sebagai bagian dari NKRI dengan sifat khasnya. Adat ini hidup dalam posisi Papua, khususnya Kabupaten Mamiki yang menjadi sentral tulisan Ans ini, berada dalam keroyokan berbagai suku/etnis yang sangat jamak. Menurut Ans, sedikitnya ada 16.000 orang dari berbagai macam suku bangsa di dunia bekerja di proyek pertambangan PT Freeport Indonesia. Maka, seorang bupati harus mampu menempatkan diri sebagai pemimpin dari orang-orang yang beranekaragam itu dan mendayagunakan potensinya.
Persoalan yang paling krusial di Papua adalah masalah perempuan. Perempuan Papua adalah pekerja keras, tetapi mereka sering masih diperlakukan secara diskriminatif oleh pihak pria. Ini berakibat perempuan Papua sering mengalami apa yang disebut dengan domestic violence (kekerasan rumah tangga) dari pihak suami. Bersama Prof.Dr.WIM Poli, Dr.Sitti Bulkis, saya pernah melakukan penelitian mengenai Perempuan Papua, yang kemudian melahirkan buku Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua (Penerbit Identitas Unhas, Makassar, Desember 2008). Kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga sering terjadi, tanpa penyelesaian yang memuaskan, terutama karena keluarga merasa aib jika kekerasan diketahui umum.
Soal jender pun merupakan masalah yang menarik dikaji di Tanah Papua. Gelar pendidikan tinggi yang diraih seorang perempuan Papua ternyata belum menjadi jaminan bagi dia untuk tidak memperoleh perlakuan dan tekanan psikologis dari sang suaminya. Seorang perempuan Papua lulusan doktor dari Australia dan merupakan sosok pertama kaumnya yang meraih gelar akademik setinggi itu di Papua, kerap mendapat perlakuan yang sangat menyakitkan dari sang suami yang notabene karyawan salah satu perusahaan tambang ternama. Tak tahan didera beban psikologis seperti itu, perempuan yang kini menjadi dosen di Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura tersebut memilih hidup sendiri.
Masalah pendidikan di Papua sebenarnya mulai memudar ketika Indonesia mengambilalih kekuasan di Tanah Papua, setelah masa penentuan nasib sendiri melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Pendidikan di Papua mengadopsi sistem pendidikan Belanda yang disiplin dan keras. Saya pernah mengunjungi dua lokasi, sekolah Perempuan di atas salah satu bukit di Kecamatan Nimboran dan sekolah Pria di Yoka yang dua-duanya kini tinggal kenangan. Sekolah perempuan tinggal bekas tembok tua yang sudah tertutup hutan, sementara Sekolah Pria Yoka tinggal gedung yang sudah berubah fungsi dan jadi saksi bisu kejayaan masa lalunya. Di salah satu aula yang pernah dijadikan ruang makan siswa, hingga akhir 1964, kini sudah berubah menjadi satu lapangan badminton.
Banyak orang Papua yang kini sudah jadi pemimpin, lahir dari sekolah ini. Khususnya di Yoka, disiplin siswa ditegakkan. Makan dan tidur harus dikomando dan ada tata tertibnya. Termasuk mandi dan nyemplung ke pinggir danau Sentani yang dijadikan tempat mandi siswa saban pagi.
Inilah sisi-sisi yang hilang dan digugat kembali oleh Ans Geogory da Iry di dalam bukunya yang dikemas dengan gaya tulisan esei. Buku ini tidak menjemukan dibaca, karena Ans tahu betul bahwa gaya penulisan esei jurnalistik selalu cenderung mampu mencegah kebosanan orang membaca.
Ans Gregory da Iry adalah mantan wartawan Suara Karya Jakarta. Setelah pensiun dari PT Freeport Indonesia, kini dia bermukim di Bogor. Mengisi masa tuanya, pria kelahiran NTT ini menjadui konsultan Kehumasan. Sudah banyak buku yang ditulis Ans, yang ketika menjadi wartawan Suara Karya sering mengikuti perjalanan Menteri Pertahanan M.Jusuf (alm.). Buku yang berisi kumpulan esei jurnalistik ini dapat diperoleh di berbagai took buku Gramedia.
M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar