Minggu, 17 Januari 2010

Kisah Kiprah para Wapres

Judul : Wapres: Pendamping atau Pesaing?
Penulis : Roy B.B.Janis
Terbit : 2008
Penerbit : PT Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia
Tebal : 376 halaman

Republik Indonesia baru berusia sehari, saat 21 anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Inkai atau PPKI) bersidang di Gedung Tyuuoo Sangi-in (Departemen Luar Negeri) Pejambon, Sabtu Pahing 10 Ramadan 1364 atau 18 Agustus 1945. Agenda sidang, menetapkan undang-undang dasar dan memilih presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama.
Menurut rencana sidang dibuka pukul 09.30, tetapi hingga pukul 11.00 lebih, sidang belum juga dibuka. Jumlah anggota ditambah enam orang lagi. Setengah jam kemudian, ketua Ir.Soekarno didampingi Drs.Mohammad Hatta sebagai wakil ketua, membuka sidang. Sidang ditutup pukul 13.30 untuk memberi kesempatan makan siang bagi anggota yang tidak berpuasa. Pukul 15.15, sidang dibuka lagi. Lantaran di luar ruang sidang sudah banyak wartawan menunggu keputusan siapa presiden dan wakil presiden, Soekarno meminta persetujuan sidang untuk sementara menunda pembahasan rancangan UUD 1945 dan mendahulukan pemilihan presiden dan wakil presiden. Sebagai dasar legitimasi wewenang PPKI, sidang pun kemudian sepakat mengesahkan rumusan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 sebagai berikut:’’ Untuk pertama kali presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI’’. Ketentuan tentang hal itu kemudian berlaku secara einmalig (hanya dilakukan satu kali).
Soekarno pun meminta petugas membagikan kartu pemungutan suara. Tiba-tiba Otto Iskandardinata angka suara.
‘’Berhubung dengan keadaan waktu, saya harap supaya pemilihan presiden ini diselenggarakan dengan aklamasi dan saya majukan sebagai calon, yaitu Bung Karno sendiri’’. Kontan usul itu disambut tepuk tangan meriah.
‘’Tuan-tuan, banyak terima kasih atas kepercayaan Tuan-tuan dan dengan ini saya dipilih oleh Tuan-tuan sekalian dengan suara bulat menjadi Presiden Republik Indonesia,’’ kata Presiden ter-‘’aklamasi’’, Soekarno. ‘’Pidato pertama’’ presiden itu disambut tepuk tangan. Para anggota PPKI berdiri menyanyikan Indonesia Raya, kemudian menyerukan ‘’Hidup Bung Hatta’’ tiga kali.
Sejurus kemudian, Otto Iskandardinata kembali angkat tangan. ‘’Pun untuk pemilihan wakil presiden Negara Republik Indonesia, saya usulkan cara yang baru dijalankan. Dan saya usulkan Bung Hatta menjadi wakil kepala Negara Indonesia,’’ serunya. Serentak hadirin bertepuk tangan. Lalu mereka menyanyikan Indonesia Raya,’’ Hidup Bung Hatta, Hidup Bung Hatta, Hidup Bung Hatta,’’ teriakan itu bergema.
Kutipan panjang ini sengaja saya angkat untuk memaklumkan kepada pembaca perihal proses pemilihan presiden dan wakil presiden pertama Republik Indonesia, yang tentu saja sangat berbeda dengan pemilihan para presiden dan wakil presiden berikutnya. Buku ini mengisahkan bagaimana peran seorang wakil presiden Republik Indonesia yang hingga kini sudah sepuluh orang itu. Mulai Drs.Mohammad Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Try Sutrisno, Baharuddin Jusuf Habibie, Megawati Soekarnoputri, Hamzah Haz, dan Muhammad Jusuf Kalla.
Secara umum, jika kita membaca karya setebal 376 halaman yang ditulis Roy Binilang Bawatanusa (BB) Janis ini, dari sepuluh wakil presiden masing-masing terdapat sejumlah catatan yang menarik. Yang pertama adalah sifat ‘melawan’ yang kemudian pecahnya duet presiden dan wakil presiden. Ini kita temukan pada sosok Mohammad Hatta yang kemudian mengundurkan diri, karena dia menganggap sulit lagi bekerja sama dengan presiden.
‘’Aduh, Des, Om cuma disuruh ngurus koperasi. Segala keputusan politik tidak dikonsultasikan dengan saya. Jadi, Om berhenti saja jadi wakil presiden,’’ ujar Mohammad Hatta November 1958, kepada Des Alwi, anak angkatnya semasa pembuangan di Banda. Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden 1 Desember 1956, setelah sebelah tahun mendampingi Bung Karno.
Selepas Bung Hatta mengundurkan diri, hingga 1973 (selama 17 tahun), Indonesia yang menganut kabinet presidensil, dinakodai tanpa wakil presiden. Malah, setelah Soeharto diangkat sebagai Presiden RI tahun 1968, selama lima tahun kemudian barulah diangkat seorang figur (Sri Sultan Hamengkubuwono IX) sebagai wakil presiden. MPRS memiliki ‘’pertimbangan politik psikologis’’, sehingga membiarkan jabatan wakil presiden tetap lowong hingga tahun 1973.
Peran Sultan Hamengkubowono IX sebelum mendampingi Soeharto sebagai wakil presiden cukup signifikan tatkala dalam posisinya sebagai Menko Perekonomian. Debutnya adalah berbagai perundingan penjadwalan kembali utang luar negeri sekaligus mencari pinjaman baru pada periode 1962-1972. Namun setelah lima tahun menjabat wakil presiden, Sultan Jogja itu menolak dicalonkan kembali untuk mendampingi Soeharto.
Adam Malik jadi pilihan wapres berikutnya. Pendiri LKBN Antara ini sebelumnya adalah Ketua DPR/MPR dengan tugas pokok pengawasan pembangunan. Kehadiran Adam Malik (1978-1983) yang mantan wartawan, diplomat, dan menteri luar negeri itu mampu mengurangi kesan dan citra militerisme yang selalu ditudingkan barat kepada kepemimpinan Orde Baru.
Ketika Umar Wirahadikusumah (1983-1988) terpilih sebagai wakil presiden, tugasnya tetap sama dengan Adam Malik. Umar sangat paham dengan tugasnya itu, karena tertolong oleh pengalamannya pada jabatan sebelumnya selaku Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Saat wakil presiden berikutnya, Sudharmono (1988-1993) dan Try Sutrisno (1993-1998) bidang tugasnya tidak beda-beda amat dengan pendahulunya. Hanya ketika BJ Habibie (11 Maret 1998-21 Mei 1998) menjabat wapres, Soeharto memberi tugas dan tanggung jawab yang sangat besar. Selain di bidang pengawasan, putra kelahiran Parepare Sulsel itu, juga diminta terlibat aktif dalam percaturan global.
Ketika Megawati Soekarnoputri menjabat wapres, beban tugasnya sangat berbeda dengan wapres-wapres sebelumnya. Lantaran alasan kesehatan, K.H.Abdurrahman Wahid selaku presiden, menerbitkan Kepres 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil Presiden untuk melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari. Ini merupakan bentuk kompromi antara keduanya, sekaligus menutupi seabrek kelemahan presiden. Apa yang terjadi kemudian, Megawati dan PDIP selaku partai pemenang pemilu, memperlihatkan pembangkangan. Gus Dur pun dicungkil dari kursi presiden lantaran kasus Bulog.
Hamzah Haz dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pun naik menjadi wapres mengisi posisi yang ditinggalkan Megawati yang menjabat presiden. Secara ideologis, duet ini dinilai sangat padu. Megawati yang Jawa dan Hamzah Haz yang luar Jawa. Hanya saja, Megawati mengambil kembali sejumlah kewenangan yang pernah melekat pada wakil presiden. Dia tak sepenuhnya memberi kewenangan kepada wapres mengelola bidang ekonomi. Hamzah Haz yang mengerti etika politik, tahu menempatkan diri.
M.Jusuf Kalla (MJK) naik menjadi wakil presiden melalui pemilihan langsung. Pengusaha Bugis ini maju sebagai wapres atas nama pribadi, karena Golkar, partainya, sudah dikendarai oleh Wiranto yang memenangkan konvensi. Meski tanpa sokongan partai politik secara formal, namun dia memiliki andil yang sangat memadai bagi terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pilihan rakyat. Dibandingkan wapres sebelumnya, tulis Roy BB Janis, M.Jusuf Kalla adalah yang paling ‘’berkeringat’’ untuk meraih posisi tersebut.
‘’Saya tidak datang dengan modal nol. Saya punya basis massa di Kawasan Timur Indonesia. Saya memiliki konstituen kultural. Lagi pula, saya tidak datang ke SBY untuk menawarkan diri jadi calon wapres. SBY yang mengontak dan mengharapkan saya menjadi calon wapresnya,’’ komentar pria kelahiran Watampone 15 Mei 1942.
Sebagai wakil presiden yang juga Ketua Umum Partai Golkar, posisi MJK sebagai wakil presiden dianggap paling powerful dalam sejarah Indonesia, yang memang tidak bisa diabaikan oleh presiden sekalipun. Pertama, presiden dan wakil presiden sudah dipilih langsung. Keduanya berasal dari partai yang berbeda. Di AS saja, biasanya duet seperti ini berasal dari partai yang sama. Kedua, antara SBY dan BJK juga sudah ada semacam ‘’kontrak politik’’ yang mereka sepakati sebelum maju bersama.
‘’Kami sepakat untuk berbicara soal kompetensi masing-masing dengan memperhatikan struktur RI-1 dan RI-2. Pokoknya wakil presiden bukan ban serep, tetapi bekerja berdasarkan kompetensi,’’ kata MJK saat suatu waktu diwawancarai Kompas.
Ketiga, karakter MJK lebih kuat daripada SBY. MJK lebih berani mengambil risiko, lebih cepat mengambil keputusan, dan lebih tahan terhadap tekanan politik. SBY memiliki pribadi yang terlalu baik hati dan terlalu halus untuk ukuran seorang politisi di sebuah negeri yang masih gonjang-ganjing ini. Personalitas komandan justru lebih tampak pada MJK.

M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Unhas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar