Senin, 11 Januari 2010

Kepiting Cangkang Lunak di Tambak Sewaan

Niat awal melaksanakan praktik penelitian aplikatif ini bermula dari sebuah keprihatinan. Rasa keprihatinan melihat kondisi pengembangan komoditas udang di Sulawesi Selatan. Pasalnya, tambak yang luasnya 150.000 ha itu banyak yang terlantar alias tidur ditinggalkan pengelolanya. Mereka pada merubung udang sebagai komoditas keroyokan, karena si bungkuk itu merupakan komoditas primadona saat Indonesia diterpa krisis monoter tahun 1997-1998.
Data yang ada, tambak yang produktif hanya sedikit. Khusus untuk komoditas kepiting saja, produksi total yang mestinya digaet adalah 18.848 ton, namun kenyataannya hanya 538,42 ton saja atau 2,9%. Masalah yang mendera para petani adalah karena komoditas andalan itu diserang penyakit. Mereka juga tidak punya pilihan. Tidak dapat lagi mengatasi kendala yang dihadapi, tambak-tambak itu pun ditinggalkan.
‘’Maka, terjadilah tambak-tambak marginal yang tidak dikelola dengan baik. Melihat adanya tambak marginal ini kami berpikir memanfaatkannya untuk memelihara komoditas lain yang tahan terhadap penyakit yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan tidak kalah dengan udang, yakni kepiting. Kepiting cangkang lunak inilah yang jadi alternative kita pelihara di tambak-tambak marginal tersebut,’’ kara Dr.Ir.Hadiratul Kadsiah yang bersama Dr.Ir.Asmi Citra Malina, Ir.Rustam, M.S., dan Dr.Ir.St.Rohani, M.S, melaksanakan proyek Budidaya Kepiting Bakau Cangkang Lunak di sekitar pesisir Sungai Pampang, Kota Makassar.
Praktik kegiatan membudidayakan kepiting lunak ini sebenarnya merupakan hasil temuan para peneliti sebelumnya. Dilihat hasil-hasil riset, ternyata dengan sistem pelepasan organ itu akan mempercepat moulting kepiting. Jadi, Ira dkk berpikir bahwa dengan mengambil kepiting yang moulting itu menjadi kepiting lunak, maka kulitnya tidak lagi mengeras.
Ternyata setelah dilihat di pasaran, nilainya mahal. Setelah dicoba dibudidayakan, ternyata prosesnya tidak makan waktu lama. Inilah salah satu alasan hingga Dikti mau mengulur dana untuk membiayainya. Pengembalian modal yang cepat dan prospek pasar yang bagus. Dikti juga dalam memberikan bantuan yang berkaitan dengan pengabdian selalu melihat apakah ini bermanfaat bagi masyarakat dan atau memberikan profit yang bagus.
Proyek ini merupakan hasil kompetisi di tingkat nasional Program Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P2M) Ditjen Dikti 2007-2009. Tiga perguruan tinggi memenangkan proyek seangkatan dengan Unhas, termasuk UI dan ITB. Ira dkk menamakan kegiatan ini berjuluk ‘’Iptek bagi Inovasi dan Kreativitas Kampus’’ (IbIKK). Kegiatan ini diberikan kepada para dosen perguruan tinggi dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di universitasnya masing-masing guna menghasilkan kegiatan yan memproduksi profit oriented (berorientasi keuntungan).
Atas dasar itulah, kata Ira, pihaknya mengajukan proposal yang kemudian diterima oleh Ditjen Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (DP2M) Dikti, hingga kegiatan budidaya kepiting cangkang lunak ini pun start. Jadi, proyek ini sifatnya multiyear. Sekarang sudah jalan tahun ketiga.
Di atas tambak seluas 1 ha yang disewa Rp 6 juta per tahun, para dosen Unhas ini melaksanakan aplikasi penelitian kepiting cangkang lunak. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Prof.Dr.Ir.Yushinta Fujaya (pernah dimuat Majalah Identitas). Hanya saja, aksi para dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas ini sudah langsung dilakukan secara massal. Sebab, selain mengembangkannya di Makassar, tim Ibu Ira, begitu Hadiratul Kadsiah akrab disapa, sudah melanglangbuana ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan memberikan penyuluhan kepada masyarakat petambak.
Proyek ini bernilai Rp 100 juta per tahun, selama tiga tahun. Unhas menyediakan dana pendamping Rp 50 juta per tahun. Dana sebesar itu digunakan untuk mempersiapkan lahan, termasuk menyewa lahan, membeli bahan baku kepiting, dan perlengkapan lain seperti keramba, alat penerangan, dan sebagainya.
Sebenarnya, kata Ira, budidaya ini mirip dengan tanaman tumpangsari di bidang pertanian. Tanaman tumpangsari diselipkan di antara tanaman jangka panjang. Tentu saja, tanpa mengganggu dan mengusik tanaman yang sudah ada. Begitu pun dengan pembudidayaan kepiting lunak ini. Di tambak yang disewa tetap dapat dikembangkan jenis komoditas lain, seperti udang, bandeng, dan sejenisnya. Ira dan kawan-kawan hanya ‘meminjam’ permukaan air untuk melaksanakan misi kegiatan pengabdian masyarakat dan akademiknya itu.
‘’Kami membutuhkan 12 line keramba, tiap keramba berisi 10 kotak. Satu kotak ukurannya 25 x 25 cm,’’ kata Ira, di tengah tambak yang disewanya di pesisir Sungai Pampang, 5 Desember 2009.
Awalnya, lahan disiapkan, dibuatkan keramba, dan bibit didatangkan dari berbagai sumber. Selama ini didatangkan dari Kera, Siwa, Wajo, Malili, ada juga dari Pangkep. Harga bibit Rp 12.00 – Rp 17.00 per kg. Satu kilogram bisa naik 10-15 ekor. Itu juga yang harus menjadi syarat bibit kepiting cangkang lunak ini.
Persentase hidupnya bagus. Tingkat mortalitas (kematian hidup) rendah sekali. Di bawah 3%, bahkan cuma 0,2% kematiannya. Bahkan, pernah tidak ada kematian. Setiap kotak diisi 3 tiga ekor kepiting cilik. Setelah terjadi moulting (pergantian kulit) dua ekor diungsikan ke kotak yang lainnya. Setelah itu dilakukan teknik pelepasan organ atau teknik pelepasan organ sendiri (autotomi). Pada saat moulting inilah terjadi intervensi yang dilakukan manusia, yakni mencopot empat dari masing-masing lima ‘kaki’ kepiting. Yang dibiarkan hanyalah kaki belakang yang berfungsi sebagai kaki berenang. Kaki itu juga pada saat darurat seperti itu juga berfungsi sebagai ‘pemegang’ dan ‘peraup’ makanan yang terdiri atas ikan-ikan kecil segar non-ekonomis yang dicincang dan dikhususkan buat ‘’teman-teman’’ ini. Biasa juga tidak perlu dicincang, asal ukurannya kecil. Seperti ikan teri (mairo, bahasa Makassar). Mengapa harus dicabut semua? Kalau tidak, kepitingnya bisa ‘melarikan diri’’ dan kabur dari kotak. Ini akan merepotkan Ira dkk.
Campur tangan dengan menyiasati proses pergantian kulit itulah yang kelak membuat kulit dan cangkang kepiting bakal menjadi lunak. Saat itu, ada intervensi manusia untuk menahan, sebab jika secara alami, kulit kepiting akan keras kembali. Kepiting itu ditahan lalu diambil dan merendamnya di air tawar. Tidak diapa-apain, hanya direndam di air tawar sekitar 5 menit. Kemudian diangkat, dan kulitnya tidak akan mengeras lagi. Pengerasan tubuhnya sudah tertahan. Tidak ada perlakuan khusus dalam bentuk zat aditif dan sebagainya. Betul-betul 100% organik. Sebab, para eksporter ini tidak mau menerima kepiting yang dipelihara dengan campur tangan pupuk an-organik. Jadi, harus menerapkan eko-labelling.
Jadi, usai copot kaki-kakinya, kepiting akan hidup di air tawar. Sebab, kalau terus di air asin, kulitnya akan mengeras lagi lantaran kebanyakan kalsium. Ketika masa hidup di air tawar tersebut, cangkang-cangkang yang sudah ‘’mutilasi’ tadi akan tumbuh kembali. Pelepasan organ tubuh kepiting (capit, yakni yang biasa menjepit, kaki jalan, dan kaki renang) tidak dapat dilakukan seenaknya. Yang dilepas adalah capit dan kaki jalannya. Itu pun kepiting sendiri yang mencopotnya. Orang hanya menusuk jarum, member stimulan. Sebab, dengan ditusuk, kepiting merasa ada tekanan eksternal dari luar tubuhnya merasa sakit, dia akan melepas sendiri organ tubuhnya. Harus dilakukan pada waktu yang sangat tepat. Jika dilakukan pada saat yang tepat dengan moulting, proses tumbuhnya akan berlangsung secara alamiah. Berbeda dengan jika dicopot pada saat bukan musim pergantian kulitnya atau dicabut begitu saja. Tingkat kematian bisa tinggi. Organ tubuh kepiting bias luka dan boleh jadi bakal ngambek, alias tidak mau tumbuh. Jadi, kalau dia melepaskan sendiri organ tubuhnya tidak bakal stress dan luka-luka. Itu alami saja sebenarnya. Berikutnya akan terjadi regenerasi dan jari jemarinya akan tumbuh secara penuh.
Pelepasan organ dilakukan begitu ada bibit setelah diadaptasikan sejenak. Biasanya kepiting masih ‘’diborgol’’ langsung ditusuk dengan jarum agar dia merasa sakit dan organnya dia lepas atau copot sendiri. Baru kemudian disimpan di keramba.
Masa panennya juga singkat. Berkisar antara 2-4 minggu. Jika dijual, kini bisa mencapai harga Rp 75.000 per kg dengan kuantitas 8 ekor per kg.
Masyarakat
Kegiatan ini memang diarahkan agar masyarakat bisa mencontoh dan mengikutinya. Selama ini banyak penelitian yang belum diaplikasikan. Akibatnya, banyak juga masyarakat yang belum merasakan manfaatnya. Ira berharap, kegiatan ini bisa langsung diserap oleh masyarakat dan menjadi motivasi bagi mereka meningkatkan pendapatannya.
Menurut anak pasangan Haji Abdul Hafid-St Ramlah ini, pihaknya melakukan penyuluhan tiap tahun. Selain budidaya, juga manfaatnya buat masyarakat melalui penyuluhan dan demonstrasi. Tim Ira ini jalan ke daerah-daerah. Sekarang ini sudah buka di Sinjai dan di Kera, Siwa. Khusus di Kera, semula memelihara kepiting cangkang keras, namun setelah disuluh dengan cangkang lunak ini, mereka beralih dan ikut memelihara kepiting cangkang lunak. Selain Sinjai dan Siwa, juga Pinrang yang dilaksanakan kerja sama Dinas Perikanan dengan LPPM Unhas.
Kalau masyarakat mau melakukan sendiri, kendalanya mungkin pada biaya pengadaan bibit. Sebab harganya cukup mahal. Tetapi jika dihitung-hitung sampai panen, keuntungannya malah lebih besar lagi. Petani hanya memerlukan biaya awal, berapalah untuk sewa tambak dan pembuatan keramba serta bibit. Jika sudah tersedia, untuk kelanjutannya tidak terlalu besar lagi biaya operasionalnya.
‘’Jika mereka punya tambak sendiri, sebenarnya biayanya lebih murah lagi,’’ kata anak ketiga dari empat bersaudara (semua perempuan) dan berprofesi sebagai dosen ini.
Kalau dihitung kasarnya, imbuh Ira yang dulu hobinya berkebun dan kini bertambak itu, berdasarkan pengalaman selama ini, mungkin sekitar Rp 20 juta sudah siap sarana usaha awal. Lahan yang diperlukan untuk budidaya kepiting lunak ini tidak terlalu luas. Sebab, yang digunakan adalah keramba. Inilah salah satu keuntungan kepiting cangkang lunak ini, yakni padat sebarannya tinggi. Dia pakai keramba dan tidak memerlukan areal yang luas. Bisa dikontrol dengan mudah. Tidak perlu seperti memelihara komoditas lain yang harus basah-basah dan kotor-kotor segala. Kita bisa bersih-bersih, sebab tepiannya. Tidak perlu turun berbasah-basah. Bisa polikultur (polyculture).Di bawah kita bisa tetap memelihara udang dan bandeng. Bahkan, bisa juga memelihara rumput laut.
‘’Inilah, kita pinjam air permukaan. Hasil yang kita lihat, selama melaksanakan kegiatan ini, malah udang-udang itu tidak diberi makan, justru gemuk-gemuk, dibandingkan tidak ada keramba budidaya kepiting cangkang lunak di atasnya,’’ kata Ira yang menyelesaikan pendidikan S-1 (1992), S-2 (1997) dan S-3 tahun 2008 di Unhas itu.
Dalam budidaya ini tidak ada intervensi pupuk atau segala macam jenis pupuk an-organik. Murni pupuk organik. Tidak ada perlakuan khusus dari aspek pemupukan dan pemberantasan hama. Murni pakai air alami dari luar. Jadi, budidaya ramah lingkungan.
Jika tambak harus disewa jelas mahal. Apalagi kalau di kota, seperti Makassar. Di daerah, kalau 1 ha per tahun Rp 1 juta bisa dapat. Apalagi kalau disewa, itu hanya permukaannya saja. Kalau pemilik atau penggarap lahannya mau pelihara komoditas lainnya di bawah, bisa dan ini bakal lebih murah lagi.
Khusus di tambak yang disewa Unhas sekarang, setahun bisa panen tiga kali. Hanya ada masa istirahat, yakni antara bulan Agustus-September. Ini berkaitan dengan masa krisis benih. Masa krisis ini dimanfaatkan membersihkan keramba dan mengeringkan tambak serta memperbaiki sarana dan prasarana yang ada di tambak. Masa produktif sekitar bulan Maret. Pada bulan ini bisa capai 300 kg per bulan panen.
Selain kendala bibit, juga masalah listrik (apalagi sering padam seperti sekarang ini). Sebab, di tambak itu aliran listrik belum ada. Lokasi pemeliharaan kepiting cangkang lunak dekat dengan rumah penduduk agar dapat aliran listrik. Apalagi, kepiting ini moulting-nya pada malam hari. Pada malam hari, kontrolnya eksta. Bahkan diperiksa saban menit di keramba-keramba yang ada. Apa ada yang moulting atau tidak. Makanya, diperlukan penerangan yang cukup untuk melihat kepiting yang sedang ‘ganti baju’. Untungnya, kepiting cangkang lunak ini jarang terserang penyakit.
‘’Penyakitnya lari ke bawah permukaan air, sementara kepiting cangkang lunak ini hidupnya di atas permukaan air. Jadi, dia yang menunggangi dan menenggelamkan penyakit, sehingga tidak sakit-sakit,’’ kata Ira terkekeh.
Ir.Rustam, M.S. menambahkan, pengaruh endapan air membuat kepiting bebas dari penyakit. Semua zat beracun tenggelam. Oksigen di dasar tambak juga kurang dibandingkan permukaan air. Di permukaan air terjadi pergantian oksigen yang baik.
Setelah pelepasan organ, kepiting itu diletakkan di keramba, dipelihara dan diberi pakan. Dalam dua minggu, sudah harus siap-siap kalau ada yang dapat dipanen.Panennya tidak sekaligus. Bertahap, bahkan jam demi jam. Biasanya, seminggu dikumpulkan baru diambil oleh kolektor. Sebab, tidak langsung banyak. Beberapa ekor per malam.
Setelah jalan tiga bulan, Ira dan kawan-kawan sudah meneken akta notaries untuk membuat badan usaha yang mandiri, tetapi masih tetap di bawah naungan universitas. Sejenis satu jenis usaha yang mandiri yang profit oriented. Bagaimana menumbuhkan semangat kewirausahaan di kalangan mahasiswa maupun dosen itu sendiri. Jangan hanya penuh dengan teori-teori melulu, tetapi praktiknya di lapangan biasanya nihil.
Soal pasar produksi kepiting lunak, untuk lokal adalah Surabaya dan Bali. Biasanya langsung dijemput di sini. Kolektornya biasa mengekspor ke Jepang, China dan Hongkong. Amerika masih susah ditembus, karena mereka menganggap sistem pelepasan organ yang dilakukan masih dianggap belum sesuai selera mereka. Padahal, pada prinsipnya kita melakukan pelepasan organ yang alami. Bukan melalui tindakan yang ‘’biadab’’. Tidak tindak kekejaman yang terjadi dalam proses ini.
Produksi setahun, pernah mencapai angka 500 kg/bulan. Yang susah sebenarnya adalah pengontrolannya. Tambak seluas yang ada sekarang, yang control minimal tiga orang. Kalau sudah mulai panen, sistemnya per shift. Tidak boleh lepas semenit pun di keramba. Kontrol terhadap kepiting yang melakukan moulting, sebab berlangsung malam hari hingga subuh. Masa kerjanya malam. Ini yang susah. Walaupun kita mau tingkatkan produksi, tetapi tenaga lapangnya terbatas, tetap susah juga.
Anti Kolesterol
Jika dikonsumsi, persoalan kolesterol kepiting sering jadi pemikiran. Tetapi, konsumen tidak perlu gelisah. Tingkat kolesterol kepiting cangkang lunak ini rendah jika dibandingkan kepiting keras. Sebab, kepiting cangkang lunak ini dimakan dengan kulitnya. Kulit kepiting bisa menormalkan kolesterol dan asam lemak. Dia menjadi penetral atau menetralisasi. Lain dengan kepiting keras yang kita hanya makan isinya yang kolesterolnya lebih tinggi.
‘’Jadi lebih aman ketimbang kepiting keras,’’ kata ibu lima anak yang dilahirkan di Bone, 6 November 1969.



BEP 47, 16 & IRR 31,34%

Hasil pelaksanaan tahun 2009 mengungkapkan, usaha ini telah menghasilkan keuntungan yang cukup besar dengan BC Ratio mencapai 1,313. Titik impas (break event point—BEP) mencapai 47,1698 dan IRR mencapai 31,3485%. Produk telah dipasarkan ke eksporter dan outlet Unit Usaha Jasa dan Industri (UJI)/Iptek bagi Bisnis Kampus (IbIKK) di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas.
Program ini, kata Dr.ir.Hadiratul Kudsiah, MP mampu mendorong perguruan tinggi membangun akses yang menghasilkan produk jasa dan/atau teknologi hasil ciptaannya sendiri. Wujud IbIKK di perguruan tinggi dapat berupa badan usaha atau bermitra dengan industri lainnya dan dapat didirikan dan dikelola kelompok dosen sesuai kompetensinya di level laboratorium, pilot plant, bengkel, jurusan/departemen, fakultas/sekolah, UPT, pusat riset, dan pengembangan atau lembaga lain yang berada di perguruan tinggi. Sekali didirikan, IbIKK diharapkan harus berkelanjutan sehingga insiatif awal perlu disusul dengan ketekunan berusaha dan kejelian menangkap peluang pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Hadiratul Kudsiah mengatakan, misi program ini adalah menciptakan science and technology park (taman sains dan teknologi) di kalangan perguruan tinggi guna mengembangluaskan budaya knowledge baced economy.
Sedangkan tujuan program, mempercepat proses pengembangan budaya kewirausahaan di perguruan tinggi, membantu menciptakan akses bagi terciptanya wirausaha baru, menunjang otonomi kampus perghuruan tinggi melalui perolehan pendapatan mandiri atau bermitra, memberikan kesempatan dan pengalaman kerja kepada mahasiswa, mendorong berkembangnya budaya pemanfaatan kerja kepada perguruan tinggi bagi masyarakat, dan membina kerja sama dengan sektor swasta termasuk pihak industri dan sektor pemasaran.
Keluaran program ini diharapkan terbentuknya unit profit di perguruan tinggi berbasis produk intelektual dosen, produk jasa dan/atau barang komersial yang terjual dan menghasilkan pendapatan bagi perguruan tinggi, paten dan atau wirausaha-wirausaha baru berbasis Ipteks. Keluaran ini diharapkan dapat member dampak berkembang dan meluasnya budaya kewirausahaan dan pemanfaatan hasil riset maupun pendidikan di perguruan tinggi guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Di samping itu juga memberikan peluang , dan updating sains dan teknologi di perguruan tinggi.
Tahap pelaksanaan
1. Persiapan, termasuk pengeringan tambak
2. Pembuatan karamba, jembatan, ruang pasca panen, penerangan, dll.
3. Setting karamba dan perlengkapannya di tambak.
4. Pengadaan benih kepiting bakau ukuran 10-15 ekor per kg.
5. Aklimatisasi
6. Pelempasan organ capit
7. Penebaran
8. Pemberian pakan
9. Panen
10. Pelembutan cangkang
11. Pemasaran segar atau beku.

Des Melita, M.Sc. (Direktur Program P2M Dikti)
Pejabat Direktur Program Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P2M) Ditjen Dikti, Des Melita, tanggal 6 Desember sempat bertandang ke tambak, lokasi pembudidayaan kepiting cangkang lunak yang dilaksanakan Hadiratuk Kudsiah dkk. Ia didampingi Pembantu Rektor I Unhas Prof.Dr.Dadang Ahmad Suriamiharja, M.Sc.
Setelah melihat hasil kerja para dosen Unhas, Des Melita mengatakan, program ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat kecil. Melalui program ini, mahasiswa juga dapat melakukan magang.
Ia berharap pemerintah dapat memberikan dana hibah untuk membantu para dosen melaksanakan karya seperti ini.
‘’Ini ka nada produknya dan bila berhasil akan merupakan pendapatan langsung bagi perguruan tinggi,’’ kunci Des Melita.

Prof.Dr.Dadang Ahmad Suriamiharja:
Bisa Tambah Kepercayaan Masyarakat
Proyek yang dilaksanakan Unhas ini selain menghasilkan produk langsung dari aspek profit, juga setidak-tidaknya akan menaikkan kepercayaan masyarakat terhadap Unhas. Sebab, Unhas dapat memperlihatkan produk penelitian dan karyanya yang dapat ditiru oleh masyarakat sehingga dapat meningkatkan pendapatannya.
Di Unhas memang ada format penelitian, yang sejatinya, penerapannya harus ke masyarakat. Penelitian itu dibagi ke dalam empat pokok utama berdasarkan karakteristik keilmuan, yang bidang medical complex, agro complex, science and technology, dan humaniora.
Diharapkan, produk hasil kepiting cangkang lunak dapat dilakukan lebih cepat dan itu kebih baik. Pemasaran produknya di Sulsel juga jauh lebih prospektif. Apalagi, banyak tersedia rumah makan, restoran, dan outlet yang menyediakan souvenir.
Melalui 59 program studi yang ada di Unhas, diharapkan muncul banyak proposal penelitian. Proposal itu diseleksi dalam dua tahap di Unhas guna menetapkan proposal mana yang layak dikompetisikan di tingkat nasional.
Proyek aplikatif seperti ini terasa ada dampak yang cukup besar bagi pengembangan kompetensi sumber daya manusia Unhas. Melalui kegiatan seperti ini, Unhas memperoleh peluang melaksanakan kegiatan yang dapat meningkatkan kadar kepercayaan publiknya. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah branding image.
Laporan: M.Dahlan Abubakar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar