Minggu, 17 Januari 2010

Kisah Pindahnya Kampus Unhas ke Tamalanrea

Pada tahun 1973 terjadi banjir besar di Makassar. Kampus Baraya tergenang. Untuk masuk ke Fakultas Pertanian dan sekitarnya, para dosen, pegawai, dan mahasiswa harus menggunakan perahu. Kebetulan juga kala itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof.Dr.Sjarif Thajeb berkunjuung ke Unhas. Rektor Unhas Prof.Dr.A.Amiruddin sebenarnya hanya berencana minta uang saja untuk membangun dan menimbun jalan ke belakang (ke bagian belakang Kampus Baraya) – setidak-tidaknya meninggikan – bagian kampus yang tergenang itu agar tidak tertutup air lagi. Jumlahnya sekitar Rp 100 juta, sementara anggora Unhas yang disetujui Senat Universitas hanya 80 juta. Habis, kalau setiap hujan turun lebat, banjir, dan orang harus naik perahu ke belakang. Jadi, ceritanya, kalau sudah ditimbun, bagian kampus ini tidak lagi seperti danau.
Pak Amir – begitu Prof. Amiruddin karib disapa – membawa sang Menteri keliling. Pak Amir pula yang menyopiri sendiri mobil landrover buatan Amerika itu membelah banjir. Satu waktu, Pak Amir sengaja membawa landrover itu hingga terjebak ke dalam satu lubang.
’’Saya masukkan ke lubang itu, pak...!,’’ kenang Pak Amir sembari tertawa ditemui di kediamannya Kompleks Baruga Antang, 3 Oktober 2009.
’’Berhenti.., berhenti dulu. Saya mau lihat,’’ sela Sjarif Thajeb, meminta Pak Amir menghentikan kendaraannya.
Pak Sjarif Thajeb melihat keliling. Dia lihat keliling. Yang tampak hanya air yang menyamudera. Rerumputan tenggelam.
’’Ah... tidak ada gunanya. Tenggelam saja uangnya semua di sini. Pindah!,’’ kata Sjarif Thajeb.
Ketika itu, Pak Amir juga pusing, karena baru saja mau minta uang, Senat Universitas mencemoohkan. Pak Amir masih ingat anggota Senat Unhas ngomong-ngomong;’’Mentang-mentang rektor ini dari Malaysia, anggaran kita Cuma Rp 80 juta, dari mana mau ambil uang sekian ratus juta’’.
Di satu sisi kalau ngotot mau memindahkan kampus, Pak Amir bisa dianggap jadi gila. Dianggap gila karena mau memindahkan kampus. Pak Amir diam saja waktu Pak Sjarif Thajeb suruh pindah kampus. Pak Amir langsung saja ke Jakarta. Kebetulan saja yang merencanakan kampus dari Indonesia Pak Amir kenal baik. Dulu sama-sama di ITB dan di Amerika.
Pak Amir mendatangi temannya itu. Pagi-pagi lagi ke rumahnya.
‘’Ngapain Pak Amir pagi-pagi datang ke sini,’’ kata temannya yang Pak Amir sudah lupa namanya.
‘’Eh... saya disuruh pindah kampus oleh Menteri saya. Saya sudah mau buat rencananya, tapi tidak punya duit,’’ kata Pak Amir.
’’Ah... gampang katanya. Pokoknya.. asal you bisa kasih tiket saja ke Makassar dengan stafnya enam pembantu saya. Selama di sana dijamin, saya mau lihat. Beres,’’ katanya.
’’Ya sudah, kalau gitu saya siapkan,’’ sahut Pak Amir.
Temannya itu pun tiba di Makassar yang waktu itu bernama Ujungpandang. Dia membuat rencana. Bagus juga rencana pertamanya. Berapa bulan dia buat.
Setelah itu, Pak Amir mulai pikir mau membeli tanah. Pak Amir ke Bappenas. Di situ ada kenalan baiknya Pak Amir.
’’Eh... saya mau pindahkan kampus disuruh Menteri,’’ Pak Amir memberitahu.
’’Eh... pindahkan kampus, memangnya gampang pindahkan kampus. Buat rencana dulu, dong ,’’ sergah teman Pak Amir di Bappenas.
Pak Amir pun langsung memperlihatkan maket rencana pembangunan kamous yang sudah digarap temannya sesama di ITB itu.
’’Kalau begini, nggak ada persoalan,’’ kata pejabat di Bappenas tersebut setelah melihat maket yang dibawa Pak Amir.
Pak Amir pun langsung diberi dana. Pak Amir menjual lokasi kampus dan gedung Fakultas Sospol di Jl. Ratulangi (di tikungan dengan Jl.Landak). Dana itu dipakai membeli tanah. Hanya harganya jadi mahal. Bahkan, jadi persoalan.Lama membebaskan tanah.
Kemudian Hanya waktu itu, dana tersebut dititipkan di Kota Madya. Sama Ibu Nursinah Sipato S.H. (almh).
Tidak ada orang yang percaya bisa menindahkan kampus. Ketika itu, Sulsel dipimpin Achmad Lamo dan Pemkot dipimpin H.M.Dg.Patompo. Malah Pak Amir sempat ketemu Pak Lamo di Jakarta.
’’Dari mana ambil uang, Pak Rektor,’’ reaksi Pak Lamo mendengar rencana Pak Amir memindahkan kampus.
Kampus bisa dipindahkan, karena Pak Amir selalu memegang prinsip.
’’Kalau ada kesempatan, tangkap dulu, baru mikir. Jangan mikir dulu, baru tangkap. Nanti kesempatan itu bisa hilang’’.
Ada kesempatan membangun kampus, tangkap dulu. Siapa yang mau percaya bisa bangun kampus dulu. (M.Dahlan Abubakar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar