Selasa, 19 Januari 2010

Pulang Kampung Akhir Tahun

Pada tanggal 23 Desember 2009, saya pulang kampung. Sebenarnya tak ada yang istimewa kalau saya pulang kampung. Namanya saja akan bertemu dengan handai tolan di kampung, tetapi saya perjalanan ini selalu membesarkan hati. Saya pernah pulang kampung melalui Jakarta Agustus 2008. Rutenya, Makassar-Jakarta-Denpasar-Bima-Dompu-Bima-Denpasar-Mataram-Denpasar-Jakarta-Makassar. Saya memperoleh kesempatan emas karena bergabung dengan rombongan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) berkekuatan 15 orang.
Kali ini, rombongan terbilang raksasa. Sebelas orang, termasuk adik Nurhayati dan suaminya berikut anaknya, Itja. Dari Makassar, selain saya, istri, dan Heri berikut dua cucu saya, juga saya boyong kakak ipar, dan dua orang kemanakan istri. Hitung-hitung biar mereka tahu dan lihat kampung halaman iparnya nun jauh di sana. Agenda pulang kali ini adalah menghadiri pernikahan adik bungsu saya, Siti Farida, yang dilaksanakan tepat pada tanggal 25 Desember 2009. Sebenarnya, pelaksanaan akad nikah pada tanggal ini, kurang sreg juga, karena bersamaan dengan perayaan hari besar nonmuslim. Namun, ayah saya, tidak melihat hari raya itu, tetapi hari Jumat, hari penting bagi umat muslim setiap minggunya.
KM Tilongkabila buatan Papenberg, Jerman tersebut tepat pukul 13.00 mengangkat sauhnya dari Dermaga Soekarno, Makassar. Hari cerah, pertanda pelayaran akan tenang-tenang saja. Baru saja lepas tanggul penahan ombak Pulau Laelae dan melewati gerbang keluar-masuk kapal, stum Tilongkabila berteriak tiga kali. Membahana ke seluruh penjuru kota Makassar yang dia tinggalkan. Ternyata, itu tanda dia member hormat kepada KM Sinabung yang sedang beringsut mendekati dermaga.
Saya dan keluarga, atas jasa baik salah seorang buruh, setelah anak saya Hery merogoh sakunya sekitar Rp 150 ribu termasuk ongkos angkut bagasi, memperoleh tempat di dek dua, nyaris ujung. Tempat itu sangat lapang. Suhu di dalam kapal terasa menggerahkan. Alat pendingin ruangan yang ketika kapal baru saja diseberangkan ke Indonesia cukup baik, kini sudah tak berfungsi lagi. Kalau pun ada, aluminium pendistribusi hawa sudah tak karuan. Sudah hilang atau mungkin juga copot. Suhu panas benar-benar membuat saya gerah. Apa boleh buat, saya harus buka baju atau paling tidak menyisakan kaos dalam sembari terbaring di atas tempat tidur dek paling bawah di kapal penumpang yang mondar-mandir antara Benoa Bali, Lembar (Lombok), Bima, Labuan Bajo, Makassar, Bau-Bau, Kendari, Kolonedale, hingga Bitung (pergi pulang). Jika dihitung dari Makassar ke selatan hingga kembali lagi ke Makassar, menghabiskan waktu enam hari. Jika berangkat pukul 13.00, tiap Rabu minggu pertama dan ketiga, maka Kamis pagi keesokan harinya, KM Tilongkabila merapat di Labuan Bajo, Flores. Setelah berlayar sekitar tujuh jam, pada sekitar pukul 16.00 dia akan merapat di Pelabuhan Bima. Pelabuhan ini kembali disinggahinya, Ahad siang dalam perjalanan ke Makassar.
Tak tahan dengan suhu gerah, saya memutuskan mandi. Urusan mandi, saya tak pusing-pusing amat. Jika kamar mandi yang tersedia pancuran penuh, di wc saat jongkok pun saya mandi. Hanya satu yang selalu saya ingat jika pergi mandi di kapal penumpang seperti ini, jaga barang berharga. Saya tidak akan pernah membawa celana yang di dalamnya ada dompet dan sejenisnya. Soalnya, pernah kejadian, ketika kami naik kapal penumpang ke Jakarta, menghadiri Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta tahun 2003. Seorang teman pergi mandi dan serta merta membawa celana yang di dalamnya terdapat dompet berisi uang. Saat dia asyik mandi, celana yang berisi dompet tersebut ditarik orang tak dikenal. Apa boleh buat, celananya dibiarkan tergeletak di luar kamar mandi, sementara dompetnya raib. Kami akhirnya patungan menyubisidi teman yang satu ini di Jakarta.
Memasuki wc, keadaannya sedikit masih menyisakan pemandangan yang dulu, sama ketika pada tahun 1986, saya mengikuti peresmian KM Kelimutu di Kupang, NTT. Saya mengikuti pelayaran perdana kapal itu sebagai wartawan harian Pedoman Rakyat Makassar. Perjalanan kala itu, Makassar-Bima hanya ditempuh 15 jam dengan jarak tempuh 225 mill. Saya mencatat habis semua jarak yang ditempuh Kelimutu mulai dari Makassar hingga Kupang. Kondisi kamar kecil Tilongkabila yang masih tersisa adalah bak tempat jongkok. Slang air sudah terganti. Slang asli sudah tidak ada. Slang asli berwarna krem, kini berwarna biru, yang dijual di toko kebanyakan.
Keesokan harinya, saya mandi di kamar yang ada pancurannya. Saya menengok ke atas, astaga, tempat air mengalir turun yang semestinya sudah raib. Tempat air memancar turun terbuat dari mulut botol besar, bekas minuman yang banyak dijual di toko. Air yang turun pun tidak utuh. Terpencar sebagian. Benar-benar anak negeri ini susah sekali memelihara inventaris negara. Di mana-mana anak bangsa memiliki modal dan bakat ‘anarkis’. Bagaimana mungkin pancuran air yang terbuat dari besi tersebut bisa berantakan begitu. Begitu pun bak air di depan kamar mandi yang biasa dipakai penumpang menggosok gigi atau menganbil wudhu, juga sudah rusak sama sekali dan tidak dapat digunakan.
Menyaksikan keberantakan inventaris BUMN ini, saya hanya bisa geleng kepala. Di sana-sini, dinding kapal ada yang mencoretinya. Seperti anak kecil yang baru belajar menulis dan menggambar. Memang susah juga, kapal penumpang ini adalah armada jasa transportasi mudah dan murah yang banyak diminati orang, ketika tidak cukup kemampuan menggunakan jasa tranportasi udara.
Lepas mandi, saya mencoba naik ke dek 6. Melepas matahari yang akan pergi ke peraduannya. Indah sekali. Raja siang itu merah keemasan. Sayang dia ‘malu-malu’, menyembunyikan dirinya di balik awan di ufuk barat. Tetapi saya beruntung sedikit, karena saat menamatkan tugasnya sepanjang hari 23 Desember 2009, saya masih sempat mengabadikannya dengan Kamera Nikan Seri 200 bertele 18mm-200mm. Tak ada ikan lumba-lumba yang bermain sore itu. Mungkin saja, bukan saatnya binatang laut itu muncul bermain. Biasanya, lumba-lumba dapat ditemukan antara pukul 11.00 – 16.00.
Setelah puas bermain kartu domino dengan Hery yang berpasangan dengan Pak Syafei dan saya duet dengan Abdullah, saya memutuskan tidur sekitar pukul 23.00. Semalam suntuk hingga subuh saya akan tidur untuk bangun keesokan hari. Sebab, menurut jadwal, sekitar pukul 07.00 pada tanggal 24 Desember 2009, Tilongkabila akan merapat di Pelabuah Labuan Bajo, Flores.
Tak ada mimpi, yang ada hanya, goyang kiri, goyang kanan, karena suhu panas lantaran pendingin ruangan tak berfungsi, menemani malam saya hingga subuh. Sehabis salat subuh, saya kembali menghempaskan badan. Tidur lagi. Mirip syair lagunya Pak Urip, seniman jalanan yang meninggal nyaris bersamaan waktunya dengan seniman besar W.S.Rendra. Saya membiarkan kemalasan menemani tidur pagi saya yang terasa enak, karena suhu mulai terasa sedikit sejuk.
Menjelang pukul 07.00, pengeras suara kapal berbunyi, setelah semalaman tak henti-hentinya mengumumkan dan merayu penumpang agar mau meluangkan waktunya menonton film di bioskop KM Tilongkabila di dek 6. Pagi ini, pengumumannya bukan lagi mengenai film-film andalannya, melainkan kapal dalam beberapat menit lagi akan merapat di Pelabuhan Labuian Bajo. Tambahan pengumuman, para penumpang lanjutan diminta tidak turun dari kapal, sebab KM Tilongkabila akan segera berangkat menuju pelabuhan tujuan berikutnya, Pelabuhan Bima, setelah seluruh penumpang turun dan naik.
Labuan Bajo, sebuah kota kecil di bibir utara Pulau Flores bagian barat. Beberapa tahun silam, Labuan Bajo adalah kota kecil yang sepertinya sulit sekali berkembang. Kapal Penumpang Pelni, macam Tilongkabila ini, tidak bisa langsung sandar ke dermaga. Para penumpang yang akan naik dan turun harus dijemput-antar oleh perahu motor. Para penumpang kapal turun melalui tangga gantung di sebelah lambung kiri atau kanan kapal. Ya, terserah maunya nakoda. Kini, Tilongkabila sudah dapat merapat. Para penumpang pun tak perlu merogoh kocek tambahan untuk membayar tariff perahu motor yang menjemput dan mengentar mereka. Dengan tangga dorong, penumpang dapat turun dari dek 3 langsung ke pelataran dermaga.
Kota Labuan Bajo mengalami perkembangan yang luar biasa. Ini ditandai oleh banyak bangunan gedung yang tegak dan tumbuh hingga di lereng-lereng gunung. Pada malam hari (ketika dalam perjananan kembali ke Makassar), saya dapat menyaksikan sorot lampu kendaraan yang melaju, membelah kota di kawasan ketinggian. Ini membuktikan bahwa Labuan Bajo termasuk kota yang landscape-nya tidak rata.
Adanya sebuah pelabuhan laut akan selalu meng-create suatu kawasan cepat mengalami kemajuan. Begitu pun halnya dengan Labuan Bajo. Bangunan gedung cepat sekali menyebar terpencar di mana-mana dalam lingkup kawasan yang luas. Dari segi penumpang, Labuan Bajo termasjuk pemasok penumpang kapal penumpang Pelni terbesar kedua, setelah Bima. Kalau Tilongkabila sudah melewati Labuan Bajo, maka penumpang kapal mulai berkurang. Namun kian sangat berkurang lagi begitu melanjutkan perjalanan menuju Lembar, Lombok.
Sekitar pukul 08.00, Tilongkabila melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Bima. Ketika baru saja sekitar 20 m tubuh kapal menjauh dari dermaga, ternyata ada dua orang pengantar yang tak sempat turun. Apa boleh buat, daripada terbawa kapal, keduanya nekad melompat. Terjun ke laut. Karena menjatuhkan diri dari tempat ketinggian, keduanya nyaris tidak muncul. Saat muncul, napasnya terengah-engah. Kabarnya, sebuah perahu motor menyelamatkan keduanya dari kematian yang sia-sia karena kelalaiannya sendiri.
Tilongkabila akan menghabiskan waktu waktu sekitar 7 sampai 8 jam untuk mencapai Pelabuhan Bima. Dulu, sekitar enam agtau tujuh jam. Tetapi kini, seiring dengan usia kapal, jarak tempuh kian bertambah hingga delapan jam.
Pemandangan ke darat, sejak meninggalkan Labuan Bajo, menyusuri pantai utara Pulau Komodo, adalah hamparan tanah bebatuan yang kering. Gunung dan bukit yang tampak, bagaikan kepala manusia yang ditumbuhi rambut yuang jarang. Untung-untung saja tidak botak sama sekali. Dari kejauhan, tampak sebuah kapal, kelihatannya kapal fery yang ketika Tilongkabila merapat ke dermaga sudah bergerak keluar meninggalkan Labuan Bajo. Fery ini bernama Komodo, menghubungkan Pelabuhan Sape, di ujung timur Pulau Sumbawa dengan Pulau Komodo dan Labuan Bajo. Fery ini terkadang dalam seminggu dua kali menyinggahi Pulau Komodo sebelum melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo atau Sape. Lama perjalanan dari Sape ke Komodo menyita waktu tujuh jam. Begitulah lama waktu yang saya tempuh ketika pada tahun 1985 mengunjungi Komodo. Ketika saya kembali dari Komodo ketika itu, hari sudah sore. Fery yang bermuatan mobil dan truk itu, digoreng gelombang yang cukup besar. Sampai-sampai nakoda kapal fery itu harus turun tangan sendiri mengendalikan kapalnya.
Gunung-gunung di kawasan ini, termasuk di Pulau Komodo, tidak begitu hijau. Tampak benar tidak ada upaya penghijauan dilakukan. Mungkin pemerintah menganggap tak perlu, tokh jauh dari pemukiman penduduk. Atau boleh jadi, gunung dan bukit itu memang tidak produktif lagi. Kalau pun dihijaukan hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Di sini, bukan tanah berbatu, melainkan batu bertanah. Artinya, lebih banyak batunya ketimbang tanahnya. Tetapi bisa dipastikan, pada tanah yang datar, pasti subur dan berpotensi ada areal sawah yang luas. Ini terbukti seperti di Reo dan letaknya agak di bagian selatan Flores. Kawasan itu ternyata subur. Padi tumbuh subur dengan letaknya bertingkat-tingkat. Saya pernah melintas dengan pesawat Cassa Merpati dari Kupang ke Bima pada tahun 2000.
Tilongkabila membelah dua pulau. Sangiang di lambung kanan dan Sumbawa di lambung kirinya. Di lambung kiri, adalah pantau utara Pulau Sumbawa bagian timur. Di kawasan ini masuk sebagian Kecamatan Sape dan sebagian lagi Kecamatan Wera. Saya tidak tertarik mengomentari Kecamatan Wera yang dulu menjadi gudang dan hutan jati yang subur, seperti di Tololai. Jati Tololai sangat terkenal. Namun kini, tidak ada lagi jati di kawasan itu. Pengaruh ekonomi global juga sampai di sini, hingga hutan pun jadi korban. Sayang.
Di lambung kanan, untuk kesekian kali saya melintas di dekat Pulau dan sekaligus Gunung Sangiang. Berkali-kali pulang dengan KM Tilongkabila, termasuk mengikuti pelayaran perdana dengan KM Kelimutu tahun 1986, Gunung Sangiang adalah pemandangan yang tidak pernah menjemukan. Ketika peresmian KM Kelimutu, saya melintas malam. Kapal agak goyang, karena gelombang laut yang bersumber dari pertemuan arus dari Laut Flores dengan yang datang dari selatan, Samudera Indonesia yang merupakan laut lepas.
Pulau dan Gunung Sangiang memiliki ketinggian 1.949 m. Gunung ini pernah meletus 11 kali, yakni pada tahun-tahun 1512, 1517, 1821, 1860, 1911, 1912, 1953, 1964, 1965, dan terakhir tahun 1985. Pada letusan 1911, menimbulkan gempa yang hebat, dan menimbulkan kawah di sebelah utara terbelah. Pada letusannya yang terakhir (1985) saya sempat menyaksikan saat melintas dalam perjalanan malam ke Makassar bersama KM Elang, kapal perintis. Gelombang di dekat Pulau Sangiang ini terkenal dan sangat ditakuti pada nelayan. Arusnya juga kencang.
Selepas Pulau Sangiang, mata tersajikan pemandangan wilayah pantai utara bagian timur Pulau Sumbawa yang tidak begitu subur. Pohon-pohon yang tumbuh hijau tampak di lereng-lereng bukit yang tampaknya pada musim hujan dialiri sungai yang airnya bersumber dari mata air gunung.Di bagian yang datar, tegak bangunan rumah dan gedung sekolah. Ketika lonceng saya menunjukkan pukul 14.00, terlihat sekitar 5 sampai 6 ekor lumba-lumba mencoba berlomba dengan gerak kapal di lambung kiri. Saya mencoba menjepretnya, tetapi tidak cukup jelas, karena tidak ada di antara lumba-lumba itu yang mau memperlihatkan atraksinya. Ya, melompat, seperti yang kita dilihat di TV di Afrena Jaya Ancol Jakarta.
Signal telepon selular (ponsel) mulai mengalir. Banyak penumpang memanfaatkan kesempatan melaporkan posisi kapal yang mereka tumpangi. Tidak terkecuali saya juga sempat menelepon Sofwan yang baru saja kembali dari Tanah Suci 13 Desember 2009 dan sudah tiba di Bima pada pagi harinya dari Mataram dengan menumpang bis. Ternyata, di Kota Bima sedang hujan lebat, sementara para penumpang di KM Tilongkabila panasnya tidak ketulungan.
Capek berdiri di dek atas kapal sebelah kiri kian tidak terasa seiring makin dekatnya jarak tempuh. Ketika kapal kian dekat ke Asa Kota (mulut kota) , saya teringat sekitar 38 tahun silam, saat pertama kali ke Makassar menumpang sebuah perahu layar Bugis, pinisi tujuh layar di saat musim barat. Begitu keluar dari Asa Kota, kami harus berlayar dengan ‘’menggergaji’’ menyiasati angin barat agar dapat menjangkau tepat di sebelah utara Gunung Tambora. Belakangan aku tahu, kalau perahu akan ‘’menembak’’ arah Makassar dari arah Gunung Tambora (2.821 m). Gunung ini pernah meletus tiga kali, yakni pada tahun 1815,1819, dan antara 1847-1913. Pada letusan tahun 1815, korban jiwa yang tewas mencapai 92.000. Letusan Gunung Tambora merupakan musibah gempa bumi paling dahsyat yang pernah terjadi di sepanjang sejarah gunung berapi meletus.
Tambora secara geografis administratif masuk bagian Kabupaten Bima, dan menjadi salah satu obyek wisata vulkanis. Daerah ini kaya dengan perkebunan kopi dan juga terkenal dengan madu putih yang harganya mahal. Puncak Gunung Tambora bisa didaki dari lereng bagian barat. Di puncaknya terdapat sebuah kaldera dengan danaunya yang mempunyai dua warna karena proses alami. Lebar bekas letusan itu mencapai 6 km lebih.
Ketika memasuki Asa kota, kapal mulai menurunkan kecepatan. Soalnya, kapal akan bergerak zig zag. Mulut kota itu, tidak cukup luas. Ya, sekitar 1 mill mungkin lebarnya. Kabarnya, di salah satu bagian sebelah kiri (dari arah Makassar), pemerintah Kota Bima berencana membangun Pelabuhan Laut. Tak jelas, pelabuhan lama mau dijadikan apa. Mungkin untuk perahu-perahu layar saja mungkin.
Di dekat Asa Kota, juga kini sedang dipersiapkan lahan untuk membangun PLTU yang terbuat dari batubara. Bagus juga, kalau rencana itu terwujud. Sebab, pemerintah kota tinggal bersinergi dengan Kalimantan juntuk pemasokan batu baranya. Jalan ke Kolo, yang dipersiapkan sebagai pelabuhan laut itu sudah terbangun. Tampak sekali dari atas KM Tilongkabila yang merangkak masuk ke danau Pelabuhan Bima sore, 24 Desember 2009. Perjalanan kali ini berakhir pada pukul 16.00, saat kami menuruni tangga KM Tilongkabila yang meninggalkan Makassar, pukul 13.00, hari kemarin. Jarak dua pelabuhan itu ditempuh selama 27 jam.
Di Pelabuhan sudah menunggu, adik Sofwan, Muslim dan istrinya Naimah yang membawa kedua anak mereka Akil dan Ratu. Barang-barang bagasi kami penuh satu mobil open cup yang dikemudikan Muslim dan ditumpangi bersama dengan istri dan kedua anaknya. Saya dan keluarga dari Makassar, berikut adik Sofwan menumpang bus mini milik STIH Bima. Setelah menempuh jarak sekitar 55 km, kami tiba di kampung halaman pada sekitar pukul 19.00. Orang tuaku menyambut kami dengan penuh gembira. Tetapi, Ibu yang tidak melihat cucunya, Yanti yang dia hadiri pernikahannya dengan Briptu Achmad Amiruddin menangis tersedu-sedu. Habis, di antara ramainya yang hadir, hanya Anty dan Mamat yang tidak tampak di tengah keluarga........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar