Selasa, 19 Januari 2010

Liku-Liku Hidup

Oleh M.Dahlan Abubakar

Dia menyandarkan sepedanya di bawah naungan pohon mangga. Lalu perlahan menaiki tangga kayu yang nyaris lapuk. Penghias serambi depan rumah kos mereka. Kecapeannya menampak pada raut mukanya yang pucat pasi dan berkeringat. Dia lalu masuk dan melemparkan bukunya di atas bale-bale bambu yang tampaknya sudah usang dimakan usia. Terdengar bunyi kerek-kerek bale-bale itu. Dia duduk di atasnya sembari membuka sepatunya dengan sangat tak bersemangat. Dengan sisa tenaga yang ada, dia tarik kaos bolong tuanya.
‘’Huh…sialan. Robek … lagi,’’ terdengar dia menggerutu sendiri, kemudian terpincang-pincang menuju tempat penyimpanan sepatu.
‘’Baru pulang, Man?’’. Terdengar suara tanya dari temannya yang biasa dipanggil Min.
‘’Ya, kenapa?,’’ balasnya setengah acuh.
‘’Tidak juga. Kenapa begitu lambat pulang kali ini?’’
‘’Ah.., tahu apa, kau! Tidur saja kerjamu. Kau harus tahu, kalau aku terlambat pulang, itu berarti banyak kerjaan di kampus. Begitu pun kalau kau lihat aku cepat pulang, berarti tidak ada kerjaanku di kampus’’.
Man, memang termasuk salah seorang pengurus senat mahasiswa di fakultasnya. Dia punya pergaulan luas dan bagus. Teman-temannya bahkan menembus batas etnis. Biasa, sore-sore ada-ada saja temannya yang WNI datang menjemputnya menggunakan sepeda motor. Sepeda motor saat itu masih termasuk barang luks. Masih terbatas yang mampu membeli. Kalau temannya yang punya motor itu datang, pasti urusannya main pingpong. Kesenangannya yang masih tersisa sejak SD dulu. Temannya yang biasa menjemput itu adalah pasangan main tenis mejanya di kampus jika ada pertandingan antarfakultas dalam rangka dies natalis universitas. Prestasi terakhir mereka, juara III ketika berlangsung pertandingan Dies Natalis Fakultas MIPA. Kalau di tingkat universitas, mereka hanya bertahan setelah melewati babak kedua.
Min tampaknya tidak menggubris sedikit pun apa yang Man katakan. Dia dengan seenaknya saja menyusun buku-buku yang berserakan tadi. Dia memasukkannya ke dalam lemari buku di depannya.
‘’Mana Rahmat? Apakah dia belum pulang?,’’ Man angkat bicara.
‘’Ya, memang belum pulang,’’ jawab Min yang masih saja terus merapikan buku yang tiada henti-hentinya dia lakukan.
‘’Dia hari ini akan menyelesaikan empat mata kuliahnya. Mungkin pukul 13.30 dia baru pulang,’’ panjang lebar Min menjawab sembari tangannya terus merapikan buku yang dari tadi tak selesai-selesai.
‘’Bagaimna, Min? Apa sudah siap?,’’ tiba-tiba dengan serius bertanya.
‘’Siap, apanya?,’’ Min balik bertanya.
‘’Masa tanya segala!,’’ potong Man.
‘’Oh… itunya…! Belum. Anu..nya sudah kehabisan sejak kemarin’’.
‘’Jadi, bagaimana tindakan berikutnya?. Begini, coba cari duit di dalam kopernya Rahmat. Kau pergi ke toko untuk membeli beras,’’ Man menganjurkan teman kosnya.
Bunyi kopor kayu jati itu beradu dengan tangan Min yang membukanya. Mencari uang yang disebut Man ada di dalamnya.
‘’Huhh…,’’ Min bangkit berdiri dan bertolak pinggang.
‘’Tidak ada isinya lagi. Dompetnya dalam keadaan kosong melompong,’’ Min menggerutu.
‘’Ai… si Rahmat yang membawanya. Man melemparkan badannya ke bale-bale reot membuat tempat duduk itu seolah ‘berteriak’.
‘’Biar tunggu saja Rahmat pulang..’’’ katanya kemudian melanjutkan lagi.
‘’Biarlah perut berbicara kong kalingkong dulu. Ataukah kau pergi beli saja dengan uang yang ada ini, Min!’’.
‘’Berapa?,’’ potong Min.
‘’Cuma tiga puluh rupiah saja’’.
‘’Ah…tidak cukup. Tujuh puluh lima rupiah baru cukup, Man,’’ jelas Min.
‘’Bagaimana kalau kau minta pinjam saja dulu anu…nya sama Bapak itu. Sisanya, nanti saja dilunasi. Setelah Rahmat pulang.
Rahmat muncul. Dia memarkir sepeda besarnya di kolong rumah panggung besar tempat tinggal mereka. Seperti biasa, dia langsung menaiki tangga kayu yang nyaris lapuk dimakan tua. Mukanya pucat pasi. Bajunya basah oleh keringat setelah mengayuh sepeda berkilo-kilometer jauhnya dari ujung selatan kota.
‘’Sudah siap, Min?,’’ kalimat itu sudah menjadi ikon mereka ketika kembali dari kampus. Min seolah terjepit kali ini. Dia tentu harus menjawab dengan kalimat yang sama dengan yang diberikan kepada Man.
‘’Belum, Mat. Itunya.. sudah kehabisan sejak kemarin’’.
Mendengar kata ‘’belum’’, Rahmat pun menyuruh Min untuk membeli beras di toko Bapak di luar sana. Dia melangkah pelan, lalu membuka kopornya.
‘’Oh…, kau mau ambil uang di dalam kopor itu?,’’ Min segera memotong.
‘’Ya..,’’ sahut Rahmat.
‘’Itu sudah aku pakai membayar utang pada N tadi pagi. Sisanya tiga puluh rupiah,’’ Min menjelaskan.
‘’Min, kau alihkan sisa uang itu ke kiosnya ibu. Kau beli saja singkong,’’ Rahmat mengusul.
‘’Baik’’. Min pun segera menuruni tangga membuat rumah kayu itu bagai berayun-ayun. Rumah bertiang tinggi itu dari bawah kelihatan miring. Anak-anak kos, sering gusar jika ada angin kencang. Bisa-bisa atap rumah itu terbang disambar.
Tak lama kemudian, Min balik. Di tangannya menjinjing sebuah rantang putih yang warna aslinya nyaris tidak ada yang tersisa.
‘’Berapa biji, Min?,’’ Rahmat yang perutnya sudah sangat keroncongan menghadangnya dengan pertanyaan.
‘’Lima biji saja. Cuma ini yang tersisa’’.
‘’Mari kita kipas bersama sebagai pengganti makanan utama kita,’’ hibur Rahmat.
Sesi penderitaan hari itu berlalu. Persoalan berikutnya, untuk keesokan harinya. Bagaimana menyambung hidup untuk empat mulut yang bernaung di rumah kayu itu. Mereka akhirnya menggelar sidang kilat sore hari itu. Membahas bagaimana melanjutkan hidup dan kehidupan hari-hari berikutnya. Rahmat pun dapat akal. Min pun diminta bertebal muka bertemu dengan Ibu N di dekat rumah. Apalagi kalau bukan meminjam uang untuk membeli beras lagi. Persoalan bayar, nanti setelah salah seorang dari tiga orang dapat kiriman wesel dari orang tua. Ketiganya, Rahmat yang ayahnya seorang guru, Man ayahnya juga guru, dan Din pun guru. Hanya Min yang orang tuanya petani. Dia juga datang ke Makassar sekadar menambah beban ketiganya. Tidak sekolah. Saban hari kerja tidur. Kalau disuruh pergi membeli apa-apa, pasti jatah utama berkurang. Sebab, dia pasti menyisihkan sejumlah tertentu untuk memenuhi beberapa batang rokok yang dijual ketengan. Bibirnya sudah nyaris gelap, karena saban saat tidak pernah lepas dari batang rokok.
Kehadiran Min sempat membuat pusing ketiganya. Akhirnya, suatu hari Rahmat dengan berat hati ‘mengirim’ balik Min ke kampung dengan menumpang perahu layar. Habis, kalau dia tinggal, beban hidup ketiganya bertambah berat.
Setelah Min dikirim pulang ke kampung, ketiganya kembali menggelar sidang kecil. Agendanya, bagaimana melanjutkan hidup hari-hari berikutnya dengan kondisi sangat krisis seperti ini. Mereka dapat akal. Kantor Pegadaian menjadi satu-satunya solusi. Lalu barang apa yang akan dikirim?
‘’Bagaimana kalau sepedaku saja,’’ usul Man.
‘’Oke, baik. Daripada sekolah dan kesehatan kita terganggu, lebih baik materi kita titip sementara di kantor pegadaian,’’ usul Rahmat.
Apa boleh buat, sepeda merek Phoenik milik Man dikirim ke Kantor Pegadaian. Sepeda itu dikirim ayahnya dari kampung yang dibeli dengan cara mencicil. Sepeda itulah yang biasa dia tunggangi jika ke sekolah dari tempat kosnya yang jaraknya 5 km. Sepeda itu pula yang biasa dia pakai jika pulang ke kampungnya yang berjarak 55 km dari ibu kota kabupaten. Dan, yang tak kalah berkesannya, gara-gara sepeda itu pulalah dia diburu oleh seorang Polisi Lalu Lintas saat pulang sekolah bersama beberapa orang teman SMA-nya.
Kisahnya, karena teman-teman bergerombol di jalan raya, sehingga mengganggu pemakai jalan lain. Man yang membonceng Arifin membalap sepedanya dan bersembunyi di kolong rumah kos temannya itu, sekitar 200 m dari tempat kosnya. Untung petugas Polantas yang memburunya, malas mengejar mangsanya hingga tuntas.
Hari masih pagi, keesokan harinya. Man tidak ada kuliah pagi hari itu. Dia memanggul sepeda kesayangannya turun dari rumah kos mereka. Sebab, kalau malam, semua sepeda harus diparkir di atas rumah. Jangan pernah mencoba memarkir di kolong rumah. Bisa-bisa raib disambar maling.
Dia menyusuri jalan menuju tengah kota. Tujuannya, Kantor Pegadaian di Jl. Sulawesi. Tarif pegadaian untuk sepeda lumayan. Waktu itu sekitar Rp 3000.Kalau arloji Nelson yang dipakai Man, biasa ditawar gadai Cuma Rp 700. Berurusan dengan Kantor Pegadaian ini sudah jadi langganan tetap mahasiswa perantauan kala itu. Kalau kesulitan seperti begini, pasti sasarannya kantor pegadaian. Begitu pun kalau butuh uang untuk ongkos perahu ketika akan pulang kampung, sepeda pasti akan dititip di kantor itu lagi. Setelah pulang baru ditebus.
Man kembali ke tempat kosnya dengan wajah pucat. Titik-titik keringatnya laksana kacang kedelai. Tetapi dia sedikit terhibur. Kecapeannya tidak sia-sia. Dia membawa pulang uang hasil penggadaian sepedanya. Namun, penderitaan hidup mereka tak berakhir di sini. Besok lusa kisah dan derita serupa pasti terulang lagi.

(Dimuat di Harian Pedoman Rakyat 6 Juli 1974 dan telah dibukukan dalam judul ''Gadis Takut Hujan'', 2009. Naskah ini sudah diedit).




Sang Guru

Oleh M.Dahlan Abubakar

Dia berdiri di muka pintu sekolah sembari melempar pandangan jauh ke depan halaman. Menatap siswa-siswa yang memasuki halaman sekolah. Meskipun para siswa itu mau memasuki ruangan harus melewati pintu tempatnya berdiri, sedikit pun dia tidak beringsut. Dia memang terkenal galak. Para siswa mengandaikan, kalau dia lagi berang, siswa dilihatnya bagaikan kucing melihat tikus. Bila dia memberi pelajaran, tidak seorang pun murid yang berani berbisik, Mereka diam laksana patung.
Dengan ucapan ‘Selamat pagi, Pak!’ para siswa melintas di pintu yang dia ‘sumbat’. Mereka memasuki ruang kelas dengan mendapat hadiah ketukan kecil di kepala.
‘’Kalian terlambat!’’. Dia mulai mengeluarkan kata-kata yang membuat murid pada takut. Anak-anak itu pun tidak berani menggubris sedikit pun. Apapula mengangkat kepala sekadar mencoba mencuri pandang melihat wajahnya.
‘’Kumpul di pojok! Sudah berapa kali saya katakan jangan terlambat! Jangan terlambat! Tapi tokh juga diulangi!!’’. Dia kian menambah takut para siswa. Maklum sebagai siswa SMP ketakutan pada guru adalah sesuatu yang wajib. Perintah guru adalah titah yang tidak boleh dibantah.
Para siswa memojok di kelas. Teman-temannya yang datang lebih awal mengikuti mata pelajaran dengan seksama. Yang lain, apa boleh buat harus menjalani hukuman hari itu. Berdiri di pojok, membiarkan kaki-kaki mereka kaku dan letih.
Jam mata pelajaran usai, tetapi hukuman bagi mereka yang di pojok belum tuntas. Masih ada hukuman lain. Satu per satu mereka maju ketika namanya disebut. Sembari membuka telapak tangan, mereka mendekati guru dan melintas di depannya.
‘’Paaaaaaak!!! Selesai!!!!’’. Itulah hukuman terakhir mereka hari itu. Sebuah mistar kayu menghantam telapak tangan mereka yang terhukum satu per satu. Tetapi, hukuman ini tidak ‘berjalan lancar’, ketika tiba giliran para siswa laki-laki yang ketiga belas. Siswa pria itu, Mahmud namanya. Kalau dilihat bodinya, memang lebih besar dibandingkan guru mata pelajaran itu. Besar kecil ukuran tubuh, status tetap berbeda. Guru dan siswa. Pendidik dan anak didik.
‘’Mari sini kau!!!,’’ guru itu membentak Mahmud.
‘’Perlihatkan kedua tanganmu!!,’’ perintahnya. Diminta seperti itu, Mahmud menurut saja.
‘’Paaaak…Paaaaak!!!,’’ dua kali mistar kayu itu menghantam telapak tangan Mahmud.
‘’Selesai……., pergii……..,’’ hardiknya. Mahmud kembali nurut saja.Beberapa orang temannya menjadi saksi hukuman terhadap para siswa hari itu. Beberapa temannya mengerumuni. Menanyakan perihal hukuman yang dialaminya.
‘’Mengapa hukumanmu jauh lebih berat ketimbang yang lain?,’’ seorang di antaranya bertanya.
‘’Aku tidak tahu mengapa aku mendapat hukuman yang lebih istimewa dari kalian. Dan, memang aku nomor sial. Sialan!!!!,’’ sebut Mahmud.
Mendengar kata ‘’sialan’’, tiba-tiba sang guru tadi muncul di kelas. Dia menatap tajam retina Mahmud. Juga kepada seisi kelas. Mereka kembali duduk terpaku.
‘’Eeeeee…. Anjing…! Apa yang kau katakan tadi???!!!!Hmmmm.. kurangajar! Mentang-mentang badannya besar, seenaknya saja mau melawan guru. Anak bangsat!! Sebentar jam sepuluh kau harus menghadap di kantor kepala sekolah. Mengerti!!!,’’ semprotnya.
‘’Ya, Pak,’’ Mahmud menjawab dengan tenang, kemudian guru itu lenyap dari balik pintu. Para siswa kembali diam seribu basa.
Mereka menerima pelajaran dari guru lain. Ilmu Bumi. Selagi asyik menjelajah nusantara, tiba-tiba pintu ruang kelas terdengar diketuk.
‘’Silakan masuk!,’’ sang guru yang sedang mengajar menyilakan tamu masuk.
‘’Mm..Mahmud ditunggu di kantor kepala sekolah,’’ Kepala Tata Usaha Sekolah mengutarakan maksudnya.
Di ruang kepala sekolah Mahmud diinterogasi seputar kejadian di kelas, termasuk kata ‘’sialan’’ yang dia ucapkan. Mahmud menjelaskan, dia mengatakan seperti itu, karena kebetulan mendapat urutan tiga belas yang oleh banyak orang disebut sebagai angka sial.
‘’Pada siapa kau katakan itu?,’’ kepala sekolah ingin tahu.
‘’Saya katakan pada diri saya sendiri. Tidak pada siapa-siapa, Pak,’’ jawab Mahmud.
Keesokan pagi, seperti biasa, para siswa berbaris sebelum masuk ke ruang kelas. Khusus kelas Mahmud, ada pemeriksaan ekstra. Sang guru kemarin masih punya tugas lanjut. Memeriksa para siswa yang membawa tugas Prakarya (pekerjaan tangan) masing-masing.
Apel hari itu, untuk awal minggu. Apel hari Senin. Ada juga apel hari Krida namanya. Apel pagi hari Senin merupakan apel gabungan seluruh kelas dilaksanakan di sebelah utara gedung sekolah. Di lapangan yang biasa dipakai bermain bola dan loncat jauh.
Sang guru galak memasuki barisan. Memeriksa satu per satu sisa yang membawa hasil Prakaryanya hari itu. Di barisan Mahmud, sang guru itu berhenti.
‘’Lupa… Pak,’’ kata Mahmud, mengetahui tatapan mata sang guru. Tetapi, jawaban itu tak membuatnya puas.
‘’Eeeehh.. anak bangsat. Anak kurang ajar. Seenaknya saja melanggar dan melalaikan perintah guru!,’’ hardiknya. Mahmud hanya tunduk terpaku saja.
Dia mendekat. Mengangkat tangannya dan terdengar ‘’praaaaak!!!’’. Tangannya melayang ke pipi Mahmud. Para siswa yang lain kaget. Mahmud balik kanan dan langsung kembali ke rumahnya. Sang guru pun meraih sepedanya, juga balik ke rumahnya. Sang guru mengira, Mahmud mungkin akan mengambil sesuatu dan sekaligus ingin menantangnya. Para siswa yang lain terheran-heran menyaksikan kejadian hari itu.
Mahmud kembali. Rupanya dia kembali ke rumah mengambil hasil Prakaryanya. Mungkin juga dia beli di penjual, entahlah. Guru yang ‘bermasalah’’ tadi pun kembali. Dia sudah memasuki halaman sekolah. Lalu dia berjalan memasuki barisan, sementara kepala sekolah dan para guru lainnya berjejer di bagian depan barisan para siswa. Kakinya terus melangkah. Sepertinya kakinya menuntunnya menuju barisan tempat Mahmud berdiri. Tampaknya, Mahmud mengawasi gerakan sang guru itu dengan ekor muridnya.
‘’Mahmud!!!! Lari…..!!!! Lari…!!!!,’’ para siswa berteriak. Sang guru mencabut badik kecil yang terselip di pinggangnya di bagian dalam baju putihnya. Mahmud langsung mengambil langkah seribu. Para siswa berhamburan. Ada yang lari ke jalan raya, ke pinggir saluran irigasi di depan sekolah dan juga ke arah gedung sekolah. Terdengar teriakan kepala sekolah memecah suasana.
‘’Ali…….pegang. Cepaaaaat!!….,’’ teriaknya.
Ali, sang guru itu, sebenarnya berhasil mendekati Mahmud. Tetapi gerakan refleks Mahmud berhasil menepis sabetan badik sang guru dengan sendok nasi, hasil prakaryanya. Kalau saja tidak, mungkin kulitnya sudah sobek. Badik itu terlempar dari pegangan sang guru Ali. Badik pun cepat diamankan para guru yang lain. Pak Ali dengan tubuh terhuyung-huyung lantaran niatnya tidak sampai melukai Mahmud, dipapah menuju ke ruang kelas. Di ruang kelas, dia menangis. Menyesali kegagalannya melampiaskan kemarahannya pada Mahmud.
Para siswa pulang. Tidak ada jam pelajaran hari itu. Mereka pulang membawa kisah tentang adegan tragis di hari Senin itu. Akan halnya dengan Mahmud, hari itu terakhir dia muncul di sekolah. Senin pagi hari itu, mengakhiri cita-citanya melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi.

(Dimuat di Harian Pedoman Rakyat Sabtu 24 Mei 1975. Naskah ini sudah diedit dan telah dibukukan dalam ''Gadis Takut Hujan'', 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar