Selasa, 19 Januari 2010

Keripik Donggala, Rasanya Enak, Tinggal Kemasan

Catatan M.Dahlan Abubakar

Kalau orang asing ke Indonesia, mereka selalu berdecak kagum. Mengagumi kekayaan potensi sumber daya alam Indonesia yang berlimpah. Apa yang tidak bisa tumbuh di negara tropis ini. Jika di negaranya mereka hanya menyaksikan buah-buahan berbentuk buah, di sini akan dapat melihat bagaimana buah itu ‘’diproses’’ sejak awal hingga berbuah. Tidak salah jika ada lirik lagu Koes Plus yang melantunkan kalimat-kalimat:’’... Tongkat kayu jadi tanaman’’.
Kekayaan ini menginspirasi Prof.Dr.Ir.Radi A.Gany, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Pertanian mengatakan, dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, tidak perlu ada orang miskin di republik ini.
‘’Sumber daya alam cukup kaya. Mengapa harus miskin. Di sini diperlukan orang cerdas untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam tersebut,’’ kata Radi A.Gany yang didampingi Sekretaris Wantimpres Bidang Pertanian Prof.Dr.Ir.Ambo Ala, M.S. saat berkunjung ke Desa Umbu Tarobo, Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, 18 Juni 2009.
Inti gerakan pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya alam yang ada dengan sejumlah kecil orang pintar. Di Bangladesh penggerak ekonomi yang digalang Muhammad Yunus adalah para perempuan miskin. Jika wanita yang memimpin kegiatan ekonomi pasti sukses. Sebab, perempuan selalu memikirkan bagaimana menyejahterakan rumah tangga dan pendidikan anak-anaknya.
Kegiatan yang dilaksanakan masyarakat di Desa Umbu Tarobo Kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Dinggala, menurut Radi A.Gany, sudah mengarah kepada meningkatkan pendapatan masyarakat secara mandiri.
’’Keripik pisang yang enak rasanya itu tinggal kemasannya yang dibuat bagus,’’ ujar Radi, setelah mencicipi keripik pisang di lokasi Kelompok Tani Sukses Desa Umbu Tarobo. Sembari berharap, masyarakat setempat dapat mengembangkan kegiatan pada kelompok lain dengan usaha yang lain juga.
Di desa ini banyak tumbuh pohon kelapa. Melihat potensi ini, Radi teringat ketika mengunjungi Yogyakarta beberapa waktu lalu. Di kota Gudeg itu ada usaha pemrosesan buah kelapa. Sebutir kelapa dijual dengan harga Rp 1.000. Namun setelah diproses, harga itu akan berlipat ganda. Masyarakat yang bergelut mencapai 200 orang yang dibagi 20 orang per kelompok.
Para petani kelapa itu menjual produk dari kepala dalam beberapa produk. Kesatu, dalam bentuk sabuk yang kelak menjadi bahan pembuatan jok mobil mercy. Kedua, air kelapa dapat menghasilkan minuman segala rasa. Ketiga, tempurungnya bisa dibakar menjadi arang, diekspor menjadi bahan rokok dan atau briket yang setiap kilogram dapat membakar selama enam jam. Keempat, asap cair dapat dijadikan formalin untuk pengawet dan diekspor ke Kanada. Kelima, minyak kelapa sendiri dapat diolah menjadi menjadi sabun.
Satu biji kelapa yang semula hanya dihargai Rp 1.000, membengkak menjadi Rp 9.000 per butir. Bisa dibayangkan, 1.000 biji saja sudah menghasilkan Rp 9 juta. Harga mesin yang digunakan untuk mengolah kepala tersebut berkisar Rp 350 juta.
Ketika mengunjungi Kelompok Tani Sukses di Desa Umbu Tarobo Kecamatan Banawa Selatan, Radi A.Gany mengatakan, kalau keberhasilan yang dicapai kelompok tani ini dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan merupakan bukti keberhasilan usaha kecil mikro. Kalau rakyat sudah mampu mengembangkan perekonomian seperti ini, di Indonesia tidak ada lagi orang miskin.
’’Sumber Daya Manusia kita bagus, potensi daerah ini berlimpah. Kita hanya memerlukan satu dua orang yang bisa menjadi motivator masyarakat berbuat seperti yang dilakukan kelompok ini,’’ ujarnya/
Agus Susilohadi, Ketua Kelompok Tani Sukses itu melaporkan, kelompok tani pimpinannya itu dibentuk 18 April 2002 dengan modal awal Rp 150 ribu. Memiliki anggota 43 orang, kelompok tani ini sekarang sudah memiliki aset Rp 241 juta.
’’Modal awal kami dari anggota. Setiap bulan, para anggota menyetor 1 kg kakao,’’ ujar Agus Susilohadi yang berasal dari Bangil Jawa Timur.
Kini kelompok tani itu sudah memiliki unit usaha simpan pinjam, menjual pupuk bersubsidi dan melayani BMT untuk lima desa dengan total nasabah 112 orang. Usaha lain yang dilakukan adalah penangkaran benih padi guna memperoleh benih bersertifikasi.
‘’Kami juga menjual beras ketika pada musim harga atau persedian beras menipis,’’ ujar Agus.
Khusus usaha keripik pisang yang juga dikembangkan kelompok tani ini, menurut Radi A.Gany, produknya cukup gurih dan enak, namun yang perlu diperhatikan adalah kemasannya.
’’Di Thailand, rasa keripiknya tidak enak-enak amat, tetapi kemasannya sangat menarik,’’ kata Radi yang berkali-kali mencicipi keripik pisang tanduk yang terhidang di piring di depannya. Tidak hanya Radi yang mencicipi produk kelompok ini, tetapi juga seluruh rombongan Wantimpres yang berjumlah tujuh orang, termasuk Sekretaris Wantimpres Bidang Pertanian Prof.Dr.Ir.Ambo Ala.
Keripik pisang produk kelompok Tani di Desa Umbu Tarobo Kecamatan Banawa Selatan ini, selain dipasarkan di Palu, juga sudah menyeberang ke Sulawesi Barat, daerah terdekat Donggala. Menurut Agus Susilohadi, keberhasilan kelompok ini tidak lepas dari peran Kepala Desa Umbu Tarobo Ulfiatin.
Menurut Agus, kelompoknya juga melaksanakan usaha integrasi kakao dan sapi dan membantu empat unit biogas. Sapi dibeli sendiri, sementara kelompok Tani Sukses membantu seng dan paku.
Usaha keripik pisang, merupakan kegiatan agribisnis kelompok. Produk ini dibeli oleh pedagang Tionghoa di Palu yang kemudian menjualnya lagi. Produk ini sudah dipasarkan hingga ke Sulawesi Barat dan Palu sendiri.
Bahan baku keripik pisang adalah pisang tanduk. Agus juga merintis usaha pengembangan keripik talas dan suku. Di Donggala, sukun tidak ada harganya kalau musimnya tiba. Hanya saja, usaha dari sukun ini tidak bisa berkesinambungan, karena ada musimnya.
Konsumsi beras masyarakat Indonesia termasuk yang 139 kg per kapita/tahun termasuk tertinggi di Asia. Orang Jepang, Korea, dan Thailand mengonsumsi beras berkisar 78 kg/tahun per kapita.
’’Kita dapat mengubah tingkat konsumsi beras dengan tetap memenuhi gizi seperti yang dilakukan orang Korea, Jepang, dan sebagainya,’’ kata anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Pertanian Prof.Dr.Ir.Radi A.Gany di depan Pemkab Donggala.
Anggota Wantimpres berada di Sulteng dua hari, setelah mengunjungi Sulawesi Tenggara sejak Ahad hingga Selasa. Selain Radi A.Gany, dalam kunjungan ke Sultra juga ikut Anggota Wantimpres Bidang Sosial Budaya Prof.Dr.Budisantoso. Maha guru Antropologi UI ini tidak melanjutkan kunjungan ke Sulteng, karena harus kembali ke Jakarta.
Dalam pertemuan dengan Bupati Donggala H.Habir Ponulele dan jajarannya di Kantor Bupati Donggala, sekitar 25 km dari Palu, Radi A.Gany menegaskan, kita dapat mengubah variasi dan komposisi makan dengan mengurangi makan beras. Hanya saja, orang Indonesia belum dikatakan makan kalau belum makan nasi.
’’Kita kebanyakan makan beras. Supaya makan beras dikurangi, harga beras harus mahal.’’ ujar Radi.
Ketika bertemu dengan Wakil Gubernur Sulteng Achmad Yahya, Radi mengatakan, daerah yang berhasil membangun kompetensi banyak yang berhasil menyejahterakan rakyatnya. Ini akan ditentukan oleh sejauh mana kelembagaan dan peraturan-peraturan dalam kaitan dengan pembangunan daerah.
’’Di sisi lain, sejauh mana pemerintah daerha mampu mengembangkan infrastruktur, khususnya dalam bidang pertanian yang menempati posisi sebagai sektor multistruktur pembangunan lainnya,’’ ujar Radi dalam pertemuan di Aula Kantor Gubernur Sulteng di Palu, 19 Juni 2009.
Wakil Gubernur Sulteng Achmad Yahya mengatakan, sektor pertanian menyumbang 47-49% pendapatan domestik regional bruto (PDRB) Sulawesi Tengah. Yang menjadi tantangan masyarakat Sulteng adalah lemahnya modal kerja pertanian. Susah menerapkan teknologi yang dianjurkan, sehingga berbuntut pada rendahnya produktivitas dan mutu produksi.
’’Pembangunan pertanian pun belum sesuai dengan visi pembangunan ekosistem dan practises,’’ ujar Achmad Yahya.
Masalah lain yang dihadapi, sebut wagub, adalah mengelola rantai produk belum bagus, sehingga terjadi kesenjangan pendapatan. Juga masih ada tantangan dalam menerapkan good agcriculture dan practices operation procedure. Demikian juga dengan terbatasnya infrastruktur, menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi. Pertanian pun belum dikelola secara modern.
’’Pisang kita belum mau dibeli di Malaysia dan Filipina, karena cacad. Begitu pun jeruknya. Padahal, peluang pembangunan pertanian di Sulteng terbuka lebar,’’ kata Achmad Yahya.
Ia mengatakan, Kabupaten Parigi Moutong ditetaokan sebagai kabupaten hortikultura, karena ada durian raja. Durian raja yang dimaksud Wagub Sulteng ini tidak lain dari durian montong yang kini banyak dikembangkan di Sulawesi Selatan.
Bawang Tinombo telah dilepas sebagai jenis unggul nasional. Di dataran tinggi Napu di Poso ada jenis-jenis sayuran. Kawasan sayuran itu terdapat di Londe, Banggai, dan Lembah Palu. Bawang goreng, tidak usah dibilang, sudah cukup kondang. Cabe, tomat, dan anggur pun banyak dari daerah ini.
Pertanian tanaman pangan dalam lima tahun terakhir bertambah naik rata-rata 6,68% hingga 14,21% sejak tahun 2006. Pada tahun 2008, produksi gabah mencapai 985.417 ton, setara dengan 558.400 ton beras. Konsumsi per kapita 136 kg per tahun. Kebutuhan beras penduduk Sulteng yang berjumlah 2,4 juta jiwa mencapai 336.000 ton per tahun, sehingga daerah ini memiliki surplus beras 222.400 ton.
Pemasaran beras selain untuk konsumsi sendiri, juga dikirim ke Kaltim, Gorontalo, Sulut, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Khusus jagung dilego ke Gorontalo. (de@r).




Terusan Khatulistiwa, Ketiga di Dunia

Catatan M.Dahlan Abubakar

Wagub Sulteng mengatakan, pihak Bappenas juga sudah melakukan survei tentang kemungkinan pembangunan Terusan Khatulistiwa sepanjang sekitar 25 km, di lokasi 100 km di sebelah utara Kota Palu. Terusan Khatulistiwa ini diharapkan dapat memperpendek jarak dari barat ke timur dan sebaliknya, sehingga kapal tidak perlu mengelilingi Pulau Sulawesi.
Jika terwujud kelak, ini satu-satunya terusan di Asia, kalau benar-benar terwujud akan menjadi terusan ketiga di dunia setelah Terusan Suez dan Terusan Panama. Terusan ini akan menghubungkan Teluk Tomini dan Selat Makassar. Tujuan di balik pembuatan terusan ini tidak lain untuk memperpendek jalur transportasi laut dari Alur Laut Kepulauan Indonesia, ALKI II dan ALKI III. Rencana ini digagas oleh Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad.
“Sudah ada tiga lembaga internasional yang siap mendanai gagasan itu, yakni UNDP, JICA, dan AGRO,” kata Fadel seperti dikutip salah satu media online. Kita sudah mengundang sejumlah investor dari Singapura dan Hyundai Korea untuk menjajaki pembangunan Terusan Khatulistiwa ini,” ungkap Fadel di kesempatan lain.
Gubernur Sulteng H Bandjela Paliudju mengatakan pembangunan Terusan Khatulistiwa yang memotong daratan sekitar 30 kilometer di wilayah Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi-Moutong, Sulteng. Daerah yang akan memotong leher pulau berbentuk ”K” ini dari Desa Tambu (Kabupaten Donggala) ke Desa Kasimbar (Kabupaten Parigi Moutong). Untuk mewujudkan rencana itu, dibutuhkan dana sedikitnya Rp 3 triliun. Pemerintah provinsi Sulawesi Tengah di bawah pimpinan Bandjela Palidju, akhir-akhir ini sibuk dengan gagasan ini. Bahkan kabarnya sudah turun anggaran untuk studi kelayakan sebesar 2 milyar rupiah.
Pertanyaannya apakah proyek mercusuar ini bisa mengangkat perekonomian Sulawesi Tengah sebagai jalur terusan? Siapakah sebenarnya yang diuntungkan? Lalu apa pendapat Bupati Parigi Moutong Longki Djanggola? yang lebih dari separuh daratannya berada di Teluk Tomini. Sebagian daerah Parigi Mutong ini akan dipotong untuk membangun terusan tersebut.
”Ini masih wacana, masih perlu didiskusikan dan disosialisasikan,” ujar Longki Djanggola.
Secara prinsip, ia mendukung semua program pengembangan wilayahnya apalagi arahnya bagi peningkatan ekonomi rakyat. Namun, ia menekankan agar terusan itu nanti tidak hanya menguntungkan satu wilayah atau orang per orang.
Belajar dari kasus China, tampaknya akan lebih baik jika anggaran tersebut digunakan untuk memperbaiki infrastruktur jalan menjadi yang lebih baik. Jalan sekarang dipelebar dan kualitas jalannya ditingkatkan. Seperti catatan Dahlan Iskan dalam perjalanan ke China yang bertanya-tanya mengapa perkembangan perusahaan mobil di Tiongkok melejit begitu cepat. Dan bagaimana industri ini bisa membuat industri-industri pendukung lainnya berkembang melebar. Mulai dari industri asesori, cat, kulit, plastik, komponen sampai ke industri ban. Juga bengkel, toko-toko onderdil dan usaha terkait lainnya. Betapa besar ekonomi yang bergerak di sekitar industri mobil ini. Keberadaan jalan tol yang begitu besar tentu harus diakui menjadi salah satu faktor utama penggerak semua itu.
Di Tiongkok saat ini, ke kota mana pun Anda pergi pasti sudah terhubung dengan jalan tol. Kini kita, kalau mau, bisa naik mobil dan selalu di jalan tol dari kota Harbin yang paling utara ke kota Beihai di provinsi Guangxi yang paling selatan. Itu saja berarti sekitar 10.000 km jauhnya. Atau dari timur ke barat yang lebih jauh lagi. Atau dari barat daya ke timur laut dan dari tenggara ke barat laut. Dalam hal strategi jalan tol ini, Tiongkok mengikuti jejak sukses Amerika Serikat.
Maka saya agak heran ketika membaca berita mengenai rencana kerjasama ASEAN untuk membangun jalan kereta api yang akan mengelilingi pulau Kalimantan. Mulai dari Sabah, Kaltim, Kalsel, Kalteng, Kalbar, Sarawak, Brunai untuk kemudian nyambung lagi ke Sabah. Rencana itu harus benar-benar diubah menjadi jalan tol. Dengan jalan KA, tidak akan membawa nilai tambah apa-apa untuk sebagian besar kawasan yang dilewati. Bahkan dari pengalaman selama ini, kawasan yang dilewati rel KA harga tanahnya jatuh. Sebab rel KA telah membelah kawasan itu menjadi tidak fleksibel. Lalu bandingkan dengan keberadaan jalan tol. Semua kawasan yang dilewati jalan tol harganya naik. Maka kalau ada jalan tol yang mengelilingi Pulau Kalimantan, harga tanah seluruh pulau Kalimantan akan naik. Hal serupa juga terjadi di Sumatera. Saya heran mengapa ada pembicaraan yang serius untuk membangun jalan KA dari Lampung sampai Aceh. Sekali lagi, jalan tol lah yang harus diutamakan. Adanya jalan tol yang membelah pulau kaya itu akan semakin membuat berharga Pulau Sumatera.
Lalu bagaimana terusan khatulistiwa yang memakan banyak biaya ini?
Enam gubernur se-Sulawesi menggagas pembangunan "Terusan Khatulistiwa" yang memotong leher Pulau Sulawesi, guna mendorong percepatan pembangunan di kawasan tersebut.

Gagasan itu mencuat dalam Musyawarah Sulawesi IV--pertemuan dua tahunan enam gubernur dan 69 bupati/walikota se-Sulawesi di Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).

Gubernur Sulteng, Bandjela Paliudju, mengatakan pembangunan "Terusan Khatulistiwa" yang memotong daratan sekitar 30 kilometer di wilayah Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi-Moutong, Sulteng, ini akan memperpendek jarak transportasi laut dari wilayah timur Pulau Sulawesi menuju wilayah barat Indonesia, serta ke Filipina dan Malaysia.

Bahkan, lanjut dia, terbuka peluang kalau "Terusan Khatulistiwa" ke depan tidak hanya menjadi jalur lalu-lintas laut nasional yang ramai, tapi juga menjadi jalur internasional yang secara langsung memberi dampak pada pertumbuhan ekonomui wilayah Sulawesi.

"Gagasan ini akan dimatangkan untuk menjadi program bersama melalui Badan Kerjasama Regional Sulawesi," kata dia.

"Namun, sebelumnya akan disusun studi kelayakan melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu," katanya.

Fadel menilai gagasan ini bukan sekadar mimpi yang sulit terwujud, sebab akan memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan ekonomi daerah dan kawasan, bahkan nasional.

"Kita lihat saja nanti. Tapi, saya optimis dengan dukungan segenap pemerintah dan masyarakat Sulawesi (gagasan ini akan terwujud)," katanya.

Gagasan pembangunan "Terusan Khatulistiwa" yang memotong dari desa Tambu (Kabupaten Donggala) ke desa Kasimbar (Kabupaten Parigi-Moutong) sebenarnya pernah dilontarkan mantan Rektor Universitas Tadulako Palu dan mantan Gubernur Sulteng Prof Drs Aminuddin Ponulele MS pada tahun 1999.

Saat kampanye pemilu 1999 di desa Sausu (Kab.Parigi-Moutong) yang dihadiri Jurkam Nasional Siswono Yudohusodo dan Sofhian Mile, Prof Ponulele yang masih menjabat Wakil Ketua DPD Partai Golkar Sulteng ketika itu menyatakan kalau "Terusan Sulawesi" atau "Terusan Khatuliswa" strategis untuk diadakan, guna memperpendek jarak transportasi laut menuju negara Asia Timur dan Asia Fasifik.

"Tapi ini sebuah ide `gila` sebab membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan tolong jangan dulu dipublikasikan," katanya seperti dikutip Antara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar