Senin, 11 Januari 2010

Gurita Cikeas, Begitu Saja Repot

Senin (28/12) siang, menumpang KM Tilongkabila saya berada di perairan Selayar dalam pelayaran dari Bima, menyinggahi Labuan Bajo-Flores ke Makassar. Lambung kanan kapal penumpang buatan Jerman yang tampak mulai kurang terawat di sana sini itu, miring. Air laut nyaris menjangkau jendela di dek 2, sementara di lambung kiri jendela tak tersentuh air laut sama sekali. Apa gerangan yang terjadi? Ternyata banyak penumpang yang sedang melakukan komunikasi melalui telepon selular (ponsel) memanfaatkan tumpahan signal dari base tranceiver station (BTS) terdekat.
Saya pun mencoba ikut memperberat lambung kanan kapal. Ya, menghidupkan ponsel yang sejak pukul 13.00 tanggal 28 Desember 2009, saya off-kan lantaran berada di luar kawasan yang tak terjangkau signal. Baru saja on, ponsel saya langsung menjerit. Satu layanan pesan pendek (short message services, SMS) merangsek masuk.
‘’Membongkar Gurita Cikeas. Perlu? Pesan malam ini,’’ demikian bunyi SMS dari salah seorang orang tua, maha guru, dan juga teman saya yang berdomisili di Jakarta yang tampaknya dikirim pada tanggal 27 Desember malam.
Saya menjawab apa adanya.
‘’Mudah-mudahan saja kasus itu tidak menggoyang eksistensi negara,’’ jawab saya dalam ketidaktahuan sama sekali. Habis, sejak 23 Desember siang hingga 28 Desember sore, saya sama sekali tidak mengikuti perkembangan informasi terkini republik ini.
Malam hari di rumah, saya membuka internet. Mencoba melacak Gurita Cikeas yang saya baca di SMS. Apa gerangan kisahnya. Baru saya mengerti persoalannya. Ternyata bunyi SMS itu tidak seenteng yang saya bayangkan. Saya mengunduh internet hingga pukul 04.00 subuh. Kesimpulannya, baru ada lagi satu buku yang menghebohkan. Bakal dilarang edar dan ditarik segala, demikian bunyi berita pada salah satu situs berita online. Sepintas lalu, tiba-tiba saya seperti berada kembali di masa Orde Baru, saat begitu banyak buku yang dilarang beredar atau ditarik dari peredarannya oleh penguasa.
‘’Apakah kita akan kembali lagi ke masa otoriter itu?,’’ pertanyaan konyol muncul dalam benak saya.
Tepat 1 Januari 2010, saya menamatkan isi buku George Junus Aditjondro tersebut, setelah memperoleh fotocopy-annya dari seorang teman yang baru balik dari Jakarta di akhir tahun 2009 di kampus. Siang hari, setelah saya ‘’mengkhatam’’ buku itu, teman yang mengirim SMS itu menelepon saya.
‘’Di mana?,’’ tanya beliau.
‘’Di rumah, baru saja menamatkan Gurita Cikeas, yang diperoleh dari hasil fotocopy-an,’’ jawab saya.
‘’Untung saya tidak kirimkan,’’ katanya lagi berkelakar. Padahal, kalau pun ada, beliau tidak pernah mengirimnya. Hanya membawa tangan, karena 6 Januari 2010 akan ke Makassar.
Interkoneksi
Yang menghebohkan dari buku karya Aditjondro ini adalah judulnya, ‘’Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Skandal Bank Century’’. Menurut saya, isinya biasa-biasa saja. Sang penulis memang memperoleh data dari sumber sekunder, meski ada data primer dari sumber yang dia enggan sebut namanya. Namun data sekunder tersebut bersumber dari media cetak dan media online. Di sini, pembaca dapat menilai kemampuan Aditjondro dalam merakit serpihan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber yang berserakan itu. Ini tidak mengherankan, karena dia antara tahun 1971-1979 pernah menjadi wartawan TEMPO. Jadi, kemampuan nose for news-nya tidak diragukan lagi.
Pada ‘Pengantar Penerbit’, pembaca memang sudah digiring masuk ke jantung masalah sentral buku dengan mengutip dialog antara Ong Yuliana dengan Anggodo, hasil penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditayangkan melalui TV berjam-jam dalam sidang Mahkamah Konstitusi beberapa bulan silam. Penulis mengatakan, kecurigaan menyeruak, jangan-jangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlibat dalam lingkaran makelar kasus (markus). Wajar, katanya lagi, apabila opini miring itu tercetus, karena nama SBY terang-terangan disebut Ong Yuliana yang hingga kini tak tahu rimbanya.
(Kutipan dialog yang disiarkan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi)
Ong Yuliana: ‘’Pokoke saiki (pokoknya sekarang) SBY mendukung. SBY itu mendukung Ritonga lho’’.
Anggodo :Koen ngarang ae! (Kamu ngarang aja nih!).
Ong Yuliana:’’Harus ditegakno, ngarang yo opo sih? (harus ditegakkan, ngarang gimana sih)? SBY mendukung kita’’.
Pertanyaan Aditjondro adalah, ‘’uniknya meski namanya jelas-jelas dicatut, namun SBY terkesan tenang-tenang saja. Padahal, bisa saja SBY menuntut perempuan yang disebut-sebut pernah tersangkut kasus narkoba itu, atas tuduhan pencemaran nama baik. Tuntutan yang sama sewaktu SBY melaporkan Zaenal Maarif. Ujung-ujungnya inkonsistensi sikap SBY itu menuai kekecewaan banyak pihak. Mengapa SBY tidak tegas, bahkan cenderung bersikap tebang pilih?’’.
Kalau kita membaca buku ini, memang dapat memberikan gambaran yang jelas keterkaitan sejumlah nama yang terlibat dalam kasus Bank Century dengan eksistensi keluarga Cikeas. Misalnya saja, relasi antara Siti Hartati Murdaya dan Boedi Sampoerna sebagai nasabah kakap Bank Century yang tidak lain penyokong dana kampanye Partai Demokrat (hlm.6).
Yang menarik, Boedi Sampoerna masih sempat menyelamatkan depositonya senilai US $ 18 juta berkat bantuan surat ‘sakti’ Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duaji pada tanggal 7 dan 17 April 2009 (hlm 15).
Nama lain yang muncul dalam buku Aditjondro adalah Artalyta Suryani yang akrab disapa Ayin. Dia menduduki jabatan bendahara di Yayasan Muti Manikam Nusantara yang Pembinanya adalah Ny.Ani Yudhoyono dan Ketuanya adalah Ny.Herawati Wirajudha, istri mantan Menlu Hasan Wirajudha. Kedekatan Ayin dengan Ani, sebut Aditjondro, mengurangi ketegasan KPK dalam membongkar seluruh jejaring korupsi di belakang sang ‘markus’. Ayin adalah orang dekat Syamsul Mursalim, bos Gajah Tunggal yang terlibat dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang masih menyisakan kerugian Rp 4,2 trilyun bagi negara.
Buku tersebut merentang interkoneksi berbagai pihak yang terlibat dalam bisnis dengan keluarga Cikeas. Simpul-simpul bisnis yang tak tersentuh inilah yang diseruak dan tidak terungkap oleh berbagai media selama ini secara komprehensif. Aditjondro memang mengungkap keterkaitan jejaring bisnis tersebut dengan sepak terjang partai politik yang di-pembinai oleh SBY.
JK Tenang saja
Terus terang, munculnya buku ini sebenarnya sudah terlambat. Melalui situs resmi SBYPresidenku.com, pro SBY malah sudah lebih dulu mengeluarkan tulisan tentang Gurita Bisnis Kalla. Tulisan itu diluncurkan akhir Juni 2009, sebelum pemilihan presiden dalam tiga seri. Tulisan tersebut menyorot sepak terjang kelompok bisnis M.Jusuf Kalla dengan nuansa yang lebih miring. Siapa pun tidak dapat menyangkal kalau JK memiliki basis bisnis. Hanya saja, tidak banyak yang menengok situs itu atau mungkin JK sendiri tak perlu menanggapinya berlebihan. Saya sendiri baru tahu kalau saja tidak melacak Gurita Cikeas ini.
Tiga tulisan tentang Bisnis JK tersebut menurut saya sangat tendensius. Ini wajar saja, karena situs itu memanfaatkannya sebagai bentuk black campaign menghadapi pemilihan presiden Juli 2009. Sebagai bahan kampanye negatif, jelas selalu dicari aspek dan unsur yang merugikan atau mendiskreditkan citra lawan.
Setelah membaca dua ‘’gurita’’ ini, saya berkesimpulan, inilah mungkin yang oleh orang tua-tua kita menyebut sebagai ‘karma’. Siapa yang menanam, dia yang menuai. Pembaca dapat menengok ke situs inilah.com dan mengklik judul tulisan tersebut. Yang anehnya, JK tak pusing dengan ketiga seri tulisan tersebut, berbeda dengan reaksi penguasa dengan kemunculan buku Aditjondro ini. SBY sendiri langsung menuding ini fitnah, kata yang mulai mengalami inflasi dari wacana seorang presiden, karena terlalu sering diumbar. Andaikata Gus Dur masih hidup, beliau akan bilang,’’ Begitu aja kok repot!’’.

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat di Harian Fajar 5 Januari 2010 dan Harian Lombok Pos tanggal 6 Januari 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar