Minggu, 17 Januari 2010

Figur ‘Sejuta’ Kapasitas

H.M.Dahlan Abubakar


Pada tahun 1974, baru tiga tahun setelah menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Unhas, saya terlibat dalam satu pementasan drama. Judul drama yang akan dipentaskan di depan umum itu, adalah Odysseus. Drama ini disutradarai Jacob Marala yang merangkap sebagai pemeran Odysseus. Selain saya yang berperan sebagai desertir, juga ada Syafri Badaruddin, Fatimah Tawang, dan Taufiqurrahman. Pimpinan produksi adalah Nunding Ram.
Kami latihan habis-habisan dan serius, karena drama ini akan dipentaskan di depan publik. Untuk menonton drama yang akan dipentaskan di panggung terbuka Benteng Ujungpandang itu, undangan harus merogoh kantongnya Rp 1.000. Undangan seharga ini, termasuk mahal saat itu. Sekadar perbandingan saja, untuk menonton film silat Hongkong di bioskop Jaya Jl. G.Bulusaraung, pengunjung hanya merogoh koceknya Rp 100 sampai Rp 200 saja.
Suatu hari, di gedung Dewan Kesenian Makassar (DKM) di Jl. Irian, kami melakukan latihan pengenalan panggung. Di belakang panggung DKM dulu ada layar untuk pemutaran film. Kalau malam, gedung DKM memang berfungsi sebagai bioskop yang sering memutar film. Kebanyakan film silat yang digemari penonton pada masa itu. Pemutaran film istirahat, jika ada pertunjukan drama yang dipentaskan, seperti penyelenggaraan Pekan Festival Teater yang berlangsung setiap malam selama seminggu.
Dalam satu sesi latihan siang, kami kembali muncul di DKM. Waktu itu latihan dirangkaikan dengan simulasi dengan penonton. Tetapi, yang jadi penonton adalah para dramawan dan pengurus DKM. Salah seorang di antara yang hadir adalah Arge. Dia duduk di pentas, di lokasi kami berlatih. Namanya, simulasi, kami harus tampil sesuai petunjuk naskah. Serius dan apa adanya. Tetapi, ada-ada saja yang membuat kami tampil agak grogi. Tiba-tiba saja Jacob Marala memerintahkan kepada saya untuk menyuruh Arge mengambil sepeda. Tentu saja, saya merasa aneh. Apa hubungan sepeda dengan latihan drama yang sedang kami geluti. Tetapi Jacob Marala tetap bersikukuh agar saya tetap melakukan perintahnya.
Saya pun mengikuti perintah. Menyuruh Arge melakukan sepeda. Tentu saja, Arge kaget. Sebagai seorang dramawan dan aktor, Arge tidak kehilangan akal. Merespons perintah saya itu secara teatrikal. Terjadi dialog beberapa saat. Dan, sangat serius. Sebab, saya juga ’melayani’ setiap dialog itu dengan baik. Setelah itu usai, Jacob Marala langsung mendatangi saya.
’’Nah, itu tadi bagus. Harus serius. Itu juga bagian dari drama dan latihan yang kita lakukan sekarang,’’ kata Jacob Marala, yang waktu itu rambutnya gondrong sama dengan saya.
Saya masih ingat benar, setelah peristiwa ’dialog teatrikal’ ini, Arge bangun dan menepuk-nepuk bahu saya.
’’Bagus anak muda,’’ desisnya, kemudian berjalan dengan langkah teratur yang menjadi ciri khas dan sangat dikenal teman-temannya.
Seingat saya, inilah titik dan saat awal saya berkenalan dengan seorang Arge. Pada masa itu, saya sama sekali tidak tahu kalau Arge itu kepanjangan dari nama, Abdurrahman Gega. Pada masa itu, memang banyak tokoh wartawan atau seniman Makassar gandrung memendekkan (menyingkat) namanya. Mungkin biar keren dan gampang diucapkan. Selain Arge, nama-nama lain yang kita kenal disapa pendek adalah Aspar (Aspar Paturusi), Ramto (Ramli Otoluwa), dan sebagainya.
Interaksi saya dengan beliau semakin sering ketika berlangsung diskusi kesenian di DKM. Saya kerap hadir bersama teman-teman mahasiswa Sastra yang lainnya. Ada satu yang tidak dapat saya lupakan dari sosok yang satu ini ketika menyampaikan orasinya, yakni diksinya. Pilihan kata yang digunakan dalam setiap berwacana. Kata yang dia pilih sangat ’dahsyat’ dan selalu memikat. Jika mengingat-ingat, pilihan kata dalam berwacana yang dikemukakan Arge, mengikuti jejak Prof.Dr.Mattulada almarhum. Bedanya, diksi Mattulada cenderung sangat menotok nurani, sementara Arge diksinya bagaikan palu godam yang menohok benak kita.
Waktu terus berjalan, pergaulan berkesenian pun berputar. Interaksi dengan Arge semakin intens, ketika saya masuk dalam lingkaran Pengurus PWI Cabang Sulawesi Selatan. Sebelumnya, pada tahun 1982, meski belum masuk pengurus, saya sudah aktif di jajaran PWI, karena menghadapi Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) I di Semarang tahun berikutnya. Saya termasuk salah seorang atlet (tenis meja). Kemudian, pada tahun 1985, ketika Sulawesi Selatan menjadi tuan rumah Porwanas II, interaksi kami kian sering.
Puncak dari hubungan ini terjadi pada tahun 1988, saat saya dipercayakan sebagai Sekretaris PWI Cabang Sulawesi Selatan, sementara Arge masih dipercaya sebagai Ketua PWI Cabang. Sebagai sekretaris, tentu saja saya memperoleh kepercayaan besar dalam menyelenggarakan roda organisasi wartawan tersebut. Saya ingat benar, bagaimana Pak Arge ’membiarkan’ saya untuk selektif meneken setiap permohonan menjadi wartawan dari begitu banyak permohonan yang masuk. Salah satu kebijakan yang saya rasa akan mencederai perasaan wartawan senior lainnya waktu itu adalah menolak menandatangani permohonan menjadi wartawan dari salah satu pemimpin redaksi. Saya melihat, calon yang diajukan memperoleh kartu PWI adalah anak belasan tahun. Saya menghitung mundur masa pendidikannya, jika saya teken formulirnya, maka dia wartawan paling muda menjadi anggota PWI. Pada usia 17 tahun. Permohonan ini saya tidak loloskan. Saya yakin, Pak Arge sudah tahu dan dilapori masalah ini, karena Pemred media tersebut sudah terbiasa menyampaikan uneg-unegnya.

Sejuta Kapasitas

Sepanjang yang saya tahu, belum pernah ada sosok yang separipurna dia. Pada Arge melekat segala kapasitas. Makanya saya katakan, ’sejuta’ kapasitas, untuk menggambarkan begitu kompleksnya kapasitas yang melekat pada dirinya. Dan, dengan dia mampu melakoni kapasitas-kapasitas yang beragam tersebut dengan baik.
Kapasitas multipredikat, antara lain sebagai wartawan, seniman (penyair), sastrawan, dramawan, penulis skenario, aktor, legislator, dan budayawan. Sebagai wartawan, tentu saja tidak seorang pun yang dapat meragukannya. Dia sudah menjadi wartawan sekitar tahun 1955, saat berusia 20-an. Kala itu, berdua dengan Arsal Alhabsy almarhum, dia mulai menapaki rimba jurnalistik. Arge dengan Arsal (almarhum) tidak dapat diisahkan. Keduanya, bagaikan orang pacaran. Sebab, Arsal, pria tambun itulah yang selalu mendorong Arge menjadi wartawan. Dia pernah malang melintang di berbagai media.
Kapasitas kewartawanannya hingga kini tetap dia pelihara. Dia masih tetap menulis dan mengisi rubrik khusus di harian FAJAR Makassar. Kalau di Jakarta ada Rosihan Anwar, maka di Makassar memiliki Arge. Esei-eseinya menarik disimak dengan kasus-kasus yang ada di sekitar kita. Kasus yang sederhana, disederhanakan, tetapi tidak sederhana.
Memang, beberapa tahun silam, banyak orang awam kurang komunikatif membaca esei yang ditulis Arge. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, eseinya mengalami ’perubahan paradigma’, sehingga enak dibaca. Termasuk masalah yang diangkatnya, tidak lagi berbicara tentang karya Hamlet atau Emile Zola, tetapi lebih membumi ke tanah air sendiri.
Arge adalah seorang teaterawan. Selain menulis naskah teater, dia juga ikut menjadi sutradara. Bahkan, sering menjadi pemain. Karakter dan penjiwaannya dalam berteater sangat kuat. ’Perilaku’ teatrikalnya itulah malah sering mem-virus dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Dalam berdialog, Arge selalu tampil dalam tutur kata yang sangat teatrikal. Kuat sekali. Bahkan, dalam body language (bahasa tubuh)-nya pun selalu berkadar teater.
Puncak kemampuannya berteater ini dia buktikan ketika meraih penghargaan sebagai aktor terbaik dan meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia (FFI) di Makassar pada tahun 1978. Dia sudah bermain dalam beberapa film yang bernuansa lokal Sulawesi Selatan, seperti Latando di Toraja, Embun Pagi, dan Senja di Pantai Losari.
Arge juga seorang pemuisi, penulis puisi. Beberapa puisinya sudah diterbitkan. Hanya saja, dia tidak seproduktif mendiang Husni Djamaluddin yang akrab disapa panglima puisi. Sajaknya, begitu Pamusuk Eneste dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (Penerbit Buku Kompas 2001: 192) – pernah dimuat dalam majalah Horison, Budaya Jaya, dalam antologi ‘Sajak-sajak dari Makassar’ (1974) dan Antologi Puisi ASEAN (Buku I, 1978).
Ketika masih menjadi Ketua PWI Sulsel, Arge terpilih sebagai legislator DPRD Sulsel selama dua periode. Dia kemudian dipromosikan menjadi anggota DPR RI selama satu periode. Pada kesempatan itulah dia manfaatkan untuk berinteraksi dengan sahabat-sahabat wartawan dan senimannya di Jakarta.
Arge kini sering tampil sebagai sosok budayawan. Dengan kapasitasnya itu, memang tidak diragukan lagi dia mampu memikul beban dan kapasitas sebagai salah seorang budayawan Sulawesi Selatan. Dalam usia 73 tahun, Arge masih produktif menulis. Memang, dia wartawan tulen, sosok yang tidak kenal kata pensiun. Seorang wartawan akan purnabakti dengan sendirinya ketika dia berhenti menulis. Tetapi, tidak bagi seorang Arge. Dia akan terus menulis, karena menulis adalah bagian dari batu nisan yang kelak dikenang orang. ***

Sentani, Jayapura, Papua, 23 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar